Bisnis

[adat][bleft]

Wisata

[budaya][twocolumns]

hukum

[hukum][bsummary]

RIwayat Orang Melayu, Aceh, dan Bugis di Toba, Sumatera Utara



Sejarah panjang wilayah Danau Toba menyimpan kisah migrasi dan percampuran etnis yang jarang diungkap dalam buku pelajaran. Sebelum kolonial Belanda memasuki kawasan ini pada tahun 1877, wilayah sekitar Danau Toba ternyata telah dihuni oleh beragam kelompok masyarakat Nusantara, termasuk Melayu, Aceh, dan Bugis. Fakta ini terkuak dalam sejumlah laporan kolonial dan catatan adat setempat.

Sebuah sumber Belanda abad ke-19 menyebutkan bahwa penduduk awal di kawasan Toba sebagian besar berasal dari keturunan “Tobasche”. Namun, seiring waktu, wilayah itu menjadi tempat bermukim kelompok lain seperti “Maleiers” atau Melayu, “Atjehers” atau orang Aceh, dan “Boeginezen” atau orang Bugis. Mereka datang melalui jalur-jalur dagang dan migrasi lama yang telah terbentuk sejak era kerajaan-kerajaan pesisir.

Salah satu kelompok Melayu yang disebut dalam laporan itu berasal dari kawasan Minangkabau atau Pagaruyung. Menurut Pustaka Alim Kembaren, para perantau dari Pagaruyung sudah menjelajah ke wilayah sekitar Danau Toba sejak abad-abad awal. Mereka diyakini ikut mendirikan sebagian huta atau pemukiman pertama di beberapa titik di tepi Danau Toba.

Para migran dari Minangkabau ini tidak hanya menetap, tetapi juga berbaur dengan masyarakat setempat. Beberapa huta yang dikenal dalam tradisi lisan memiliki jejak toponimi dan adat yang berkaitan dengan Minang, seperti penggunaan gelar, pola kepemimpinan adat, dan sistem kekerabatan. Jejak ini bisa ditelusuri di wilayah-wilayah sekitar Balige, Laguboti, dan Muara.

Setelah itu rombongan Tuan Ibrahimsyah juga datang dari Tarusan, Sumatera Barat, Kerajaan Inderapura dan singgah di Bakkara sebelum menjadi Sultan di Barus Hilir.

Migrasi orang Aceh ke wilayah Toba juga tercatat dalam sejumlah catatan lisan dan kolonial. Khususnya orang Gayo, yang berasal dari dataran tinggi Aceh, dikisahkan pernah bermigrasi ke kawasan sekitar Danau Toba. Hal ini berkaitan erat dengan legenda marga Linge atau Lingga, yang disebut-sebut memiliki hubungan asal-usul dengan wilayah Gayo.


Pada masa kejayaan Samudera Pasai, migrasi orang Aceh ke Sumatra bagian utara meningkat. Sebagian dari mereka merambah hingga ke Barus dan Mandailing, lalu ke kawasan Toba. Era Kesultanan Aceh memperkuat arus migrasi ini. Selain sebagai pedagang, orang Aceh juga menjadi utusan kerajaan dan penyebar agama Islam.

Di Barus, kota pelabuhan tua di pesisir barat Sumatra, komunitas Aceh dan Bugis telah lama bercampur dengan penduduk lokal. Barus menjadi simpul penting dalam jalur rempah Nusantara, sehingga percampuran budaya tidak terhindarkan. Dari Barus, sebagian orang Bugis melakukan migrasi ke pedalaman, termasuk ke Mandailing dan Toba.

Orang Bugis yang menetap di sekitar Toba dikenal melalui marga Lubis, yang merupakan hasil akulturasi Bugis dan Mandailing. Lubis diduga berasal dari kelompok pelaut dan pedagang Bugis yang sejak lama menjelajah perairan barat Sumatra dan akhirnya menetap di dataran tinggi Tapanuli.

Dalam laporan Belanda tahun 1877, disebutkan bahwa sebelum kedatangan mereka, wilayah Toba memang telah dihuni oleh berbagai suku. Akan tetapi, gelombang migrasi Melayu, Aceh, dan Bugis memperkaya komposisi masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari tradisi, bahasa, hingga sistem sosial yang bercampur.

Hingga abad ke-19, peran ketiga kelompok etnis itu masih terasa. Di sejumlah huta, ditemukan nama-nama kampung dan marga yang memiliki akar kata dari bahasa Melayu, Aceh, dan Bugis. Beberapa nama adat dan sistem musyawarah di huta-huta tua pun menunjukkan pengaruh luar yang dibawa oleh migran ini.

Catatan Pustaka Alim Kembaren menyebutkan, pendatang Minang dari Pagaruyung biasanya datang berkelompok. Mereka mendirikan huta di sekitar muara sungai atau tepian danau, dan membaur dengan penduduk setempat melalui pernikahan. Salah satu jejak kuatnya terlihat dalam adat pemberian gelar dan sistem musyawarah.

Sementara itu, migran Aceh khususnya dari Gayo, datang dengan membawa tradisi pemukiman di dataran tinggi. Beberapa kelompok yang mengaku keturunan Linge dipercaya pernah mendirikan huta di sekitar Balige dan Laguboti. Sampai sekarang, beberapa nama kampung di kawasan ini dikaitkan dengan asal-usul tersebut.

Kedatangan orang Bugis ke Mandailing dan Toba umumnya melalui jalur perdagangan Barus. Bugis dikenal sebagai pelaut ulung, dan di Barus mereka menjalin hubungan dagang dengan pedagang Aceh, Minang, dan Gujarat. Dari sana, sebagian kelompok Bugis bermigrasi ke dataran tinggi dan menyatu dengan komunitas Mandailing.

Interaksi orang Bugis dan Mandailing menghasilkan marga Lubis, salah satu marga terbesar di Mandailing dan Tapanuli Selatan. Nama Lubis sendiri diduga berasal dari pelafalan Bugis atau nama seorang leluhur dari komunitas perantau Bugis. Tradisi pelayaran dan perdagangan tetap melekat pada keturunan marga ini hingga kini.

Di sejumlah sumber kolonial lainnya, tercatat bagaimana kelompok-kelompok ini tidak hanya berdagang tapi juga ikut dalam konflik dan aliansi lokal. Migrasi mereka sering berkaitan dengan perebutan wilayah, pengaruh adat, hingga penyebaran agama Islam di kawasan Tapanuli dan Barus.

Persinggungan antar etnis ini menjadikan wilayah Toba kaya akan warisan budaya campuran. Mulai dari sistem adat, seni ukir, musik tradisional, hingga ritual keagamaan menunjukkan jejak akulturasi sejak abad-abad awal. Jejak Minang, Aceh, dan Bugis masih bisa ditelusuri dalam tradisi lisan masyarakat setempat.

Sejarawan lokal menyebutkan bahwa tanpa kehadiran kelompok Melayu, Aceh, dan Bugis, sejarah awal kawasan Toba tidak akan lengkap. Mereka bukan hanya pendatang, tapi juga pendiri pemukiman, penyebar adat, dan penggerak ekonomi yang berbaur dengan masyarakat setempat.

Kini, upaya untuk menggali kembali sejarah migrasi dan percampuran ini mulai dilakukan melalui penelitian arkeologi, etnografi, dan kajian adat. Jejak-jejak itu menjadi penting untuk memahami identitas dan sejarah awal masyarakat Toba dan kawasan sekitarnya.

Dibuat oleh AI, baca selengkapnya