Bisnis

[adat][bleft]

Wisata

[budaya][twocolumns]

hukum

[hukum][bsummary]

Buku Tentang Wacana Protap

27 Apr 07 06:27 WIB
Ada Tiga Buku Penelitian Tentang Protap, Dua Tak Beredar Di Sumut
* Masyarakat ’STPDN’ Tegas Menolak
Medan, WASPADA Online


Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Tapanuli Tengah Sibolga (FKM-TATSI) Untuk Penolakan Bergabung Dengan Provinsi Tapanuli Drs. H. Mustafa Sibuea mengungkapkan berdasarkan penelusurannya ada tiga buku penelitian yang telah diterbitkan berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi Tapanuli yang saling bertolak belakang. Anehnya , dua di antara tiga buku tersebut tidak terdapat di Sumatera Utara atau seakan-akan sengaja dihilangkan.

Sibuea yang datang ke Waspada Kamis (26/4) bersama Ketua Umum Aliansi Generasi Muda Sibolga Tapteng Majuddin Bondar SHI menyebutkan, buku-buku tersebut adalah Laporan Tugas Tim Peneliti Kelayakan Pembentukan Provinsi Tapanuli Sesuai SK Gubsu no. 130.05/2442/2004 tanggal 21 November 2004 yang ditandatangani oleh T. Rizal Nurdin, Usul Pembentukan Provinsi Tapanuli yang disampaikan pada DPRD Sumut no. 130.8719 tanggal 7 Desember 2006 oleh Gubsu Rudolf M. Pardede, dan Proposal Pembentukan Provinsi Tapanuli yang ditujukan kepada DPR RI dan pihak-pihak lain oleh Panitia Pemrakarsa dengan surat no. 057/PPPT/XI/2006 tanggal 24 November 2006.

Dalam buku pertama diuraikan tentang penelitian terhadap enam kabupaten/kota (Tapteng, Sibolga, Taput, Humbahas, Tobasa dan Samosir). Kesimpulan dari buku itu adalah A. pembentukan Protap tak memenuhi syarat. B. jika dipaksakan akan mengakibatkan konflik SARA bukan hanya lokal bahkan nasional. C terjadi tarik menarik yang tajam mengenai ibukota (Pandan, Sibolga, Siborong-borong), sedangkan berdasarkan UU no. 32 ibukota provinsi harus ditetapkan.

Buku yang tebalnya 700 halaman ini, menurut Sibuea, sepertinya hilang dari peredaran di Sumut. Pada hal isi buku itu sangat berimbang dimana Gubsu T. Rizal Nurdin membuat pengkajiannya lengkap dengan tim pembanding. "Sepertinya untuk memuluskan pembentukan Protap, buku itu sengaja dihilangkan karena isinya tak mendukung. Saya sendiri memperolehnya dari seseorang yang sangat minta dirahasiakan," ujar Sibuea.

Buku kedua adalah Usul Pembentukan Provinsi Tapanuli disampaikan pada DPRD Sumut no. 130.8719 tanggal 7 Desember 2006 oleh Gubsu Rudolf M. Pardede. Dalam buku itu daerah yang diajukan sebanyak tujuh kabupaten/kota (Tapteng, Sibolga, Taput, Humbahas, Tobasa, Samosir dan Nias Selatan).

Kata Sibuea, Rudolf Pardede dalam buku itu tidak memakai hasil penelitian sesuai SK Gubsu sebelumnya, tetapi membuat tim baru dengan SK no. 130.05/1263/K/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang terdiri dari pemerintah Sumut dan panitia pemrakarsa. Jadi pertanyaan dalam hal ini, ujar Sibuea, apakah tim yang dibentuk Rudolf Pardede itu independen. Kemudian lagi apakah penelitiannya sudah sesuai dengan PP no. 129 Tahun 2000. Buku kedua inilah yang beredar di Sumut dan menjadi pedoman DPRD dalam menentukan sikapnya terhadap rencana pembentukan Protap.

Buku ketiga adalah Proposal Pembentukan Provinsi Tapanuli ditujukan kepada DPR-RI dll oleh Panitia Pemrakarsa dengan surat no. 057/PPPT/XI/2006 tanggal 24 November 2006. Dalam buku itu daerah yang diajukan 10 kabupaten/kota (Tapteng, Sibolga, Taput, Humbahas, Tobasa, Samosir, Nias Selatan, Nias, Pakpak Bharat, Dairi). Sama seperti buku kedua, menurut Sibuea, panitia tidak memakai hasil penelitian semasa T. Rizal Nurdin serta keakuratan penelitian diragukan apakah sesuai dengan PP no. 129 tahun 2000.

Yang lebih ironisnya lagi, kata Sibuea, selain buku itu tidak ditemukan di Sumatera Utara juga dalam buku Proposal Pembentukan Provinsi Tapanuli itu ditemukan simbol agama tertentu sehingga jelas kalau panitia menggiring masalah itu menjadi SARA.

Menzalimi 'STPDN'
Lebih jauh menurut Sibuea lagi, pihaknya menyesalkan peristiwa demo pada Selasa (24/4) karena terjadinya tindakan anarkhis di depan mata aparat TNI dan Polri bahkan ada oknum TNI seakan-akan ikut pula membantu dengan mendrop nasi kepada pengunjukrasa. Sementara itu Ketua DPRD Sumut juga terlalu cepat membubuhkan tandatangannya memberikan rekomendasi tanpa memberikan penjelasan sedikitpun.

"Peristiwa itu sepertinya menzalimi masyarakat 'STPDN' (Sibolga, Tapteng, Pakpak, Dairi dan Nias) yang menolak keras pembentukan Protap," ujar Sibuea. Pada hal, kata Sibuea kalau saja anggota dewan atau Ketua DPRDSU mau mencermati buku Usul Pembentukan Provinsi Tapanuli yang ada pada mereka maka di situ tercantum juga tentang penolakan Protap tersebut. "Nah kalau ada yang menolak kan belum bisa dikeluarkan rekomendasinya," ujar Sibuea dan ditambahkan kalaupun Ketua DPRDSU merasa terdesak pada saat itu tetapi dia harus mengungkapkan pada pengunjukrasa tentang banyak pihak yang menolak. Toh kalau sesudah penjelasan itu masih dipaksa juga suruh teken rekomendasi ya bolehlah diteken, kata Sibuea.

Menurut Sibuea alasan penolakan Protap oleh masyarakat 'STPDN' secara umum adalah karena laporan tim peneliti yang dibentuk Rudolf skor rencana Protap lebih rendah dari skor rencana provinsi induk, menimbulkan SARA, tim pemrakarsa tidak repsentatif karena hanya terdiri satu etnis dan agama serta tidak mewakili semua elemen di eks residen Tapanuli, tarik menarik yang tajam dalam penentuan ibukota provinsi. Kemudian wilayah Protap tidak ideal karena dalam wilayah Provinsi Sumut (Tapsel, Madina dan Sidimpuan tidak diajukan sebagai wilayah Protap). Di Indonesia hanya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang wilayahnya dalam provinsi lain.

Sedangkan alasan penolakan secara khusus, katanya seperti Sibolga dengan keputusan DPRD Kota Sibolga no. 15/2006, sikap 30 ormas, OKP yang menaikkan spanduk penolakan, demo ribuan masyarakat Sibolga menolak Protap serta fatwa MUI Kota Sibolga yang menyatakan haram mendukung pembentukan Protap.

Kabupaten Tapteng, penolakannya berdasarkan rapat paripurna DPRD 13 November 2006 yang menolak Protap bila ibukota di Siborong-borong, pernyataan sikap ormas, OKP yang mendatangi DPRD pada 2 Oktober 2006. Kabupaten Nias menolak karena ingin membentuk provinsi sendiri dan penolakan itu dikuatkan dengan SK DPRD Nias no. 02/KPTS-DPRD/2007.

Kabupaten Pakpak dan Dairi menolak karena masih ingin bergabung dengan Provinsi Sumut atau lebih baik bergabung dengan Provinsi Aceh Leuser Antara. Begitu pula Tapsel, Madina, dan Kota Padangsidimpuan menolak bergabung dan daripada bergabung lebih baik membentuk provinsi sendiri. Selanjutnya

Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini