Sisingamangaraja (Sumber Lain)
Si Singamangaraja: Korban Rekayasa Sejarah
Lazim diketahui oleh para ahli sejarah bahwa pola penulisan sejarah yang dewasa
ini berkembang mengikuti klasifikasi tertentu. Ada penulisan sejarah berdasar
agama, disebut religious historical, ada pula yang memandangnya dari sudut
lain, nasionalisme misalnya.
Konsep nasionalisme sebagai suatu ideologi merupakan konsep yang baru. Menurut
Islam konsep ini bertentangan dengan konsep kesatuan umat. Ia hanyalah sarana
bagi musuh musuh Islam untuk memecah dan melemahkan kekuatan Islam. Jadi konsep
penulisan sejarah dengan bersandarkan pada nasionalisme juga merupakan pola
penulisan yang baru.
Perjuangan Si Singamangaraja, Pattimura, P. Diponegoro dan yang lainnya secara
substansial sulit dimasukkan dalam frame perjuangan berskala nasional. Apalagi
dikaitkan dengan semangat nasionalisme. Data sejarah menunjukkan bahwa dasar
perjuangan mereka dalam melawan penjajahan adalah Islam. P. Diponegoro bahu
membahu dengan para ulama menyatukan rakyat untuk bertempur melawan para
penjajah. Begitu pula dengan Cut Nya' Dien, Pattimura, Si Singamangaraja dan
lain lainnya.
Belanda dan Strategi Kristenisasi
Belanda ketika menyerbu suatu daerah berusaha menjadikan penduduk sekitarnya
menjadi pengikut Nashrani. Tujuannya adalah agar perlawanan dapat padam dengan
sendirinya, karena mereka menganggap penjajah dan penduduk setempat akan diikat
oleh persatuan kristiani.
Daerah Tapanuli bisa menjadi contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik
kristenisasi sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG.Westhof,
seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, mengatakan:"Pada
pendapat kami, untuk tetap memiliki jajahan jajahan kita, sebagian besar
tergantung pada konsep kristenisasi pada rakyat setempat. Baik yang belum
memeluk agama maupun yang sudah beragama Islam".(J.H. Meerwaltd,1903,111 dan
Solichin Salam,1965,50)
Gerakan agresi agama ini besar kemungkinan mulai dilancarkan pada tahun 1824,
terbukti terjadi pembunuhan pendeta baptis Amerika bernama Munson dan Lyman di
Sinaksak. Sedang pada tahun 1861 gerakan pengkristenan ini makin kuat dengan
berdirinya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Untuk keperluan ini pemerintah
Belanda menunjuk missionaris Nommensen dan Simoniet untuk menangani program
pengkristenan ini secara lebih besar. Atas jasa yang demikian besar pemerintah
Belanda menganugerahkan bintang Officer van Oranje-Nassau kepada Nommensen pada
tahun 1911.
Di beberapa daerah strategi ini berhasil memadamkan perlawanan dan megubah
sebagian kecil komposisi penduduk dari Islam ke kristen. Namun secara luas
strategi ini gagal, bahkan menghasilkan perlawanan yang amat keras dan panjang.
Perjuangan Si Singamangaraja XII
Dalam kondisi tertekan akibat monopoli ekonomi, serangan kristenisasi, dominasi
politik kolonial, Si Singamangaraja XII dinobatkan sebagai Maharaja negeri
Toba, bersamaan dengan diterapkannya open door policy(politik pintu terbuka).
Saat itu tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Korte Volkering
-Perjanjian Pendek- yang menegaskan dominasi Belanda di bidang politik,
ekonomi, dan lain lain.
Akibatnya terjadi peperangan yang panjang antara Aceh dan Tapanuli di satu
pihak dengan Belanda di pihak lain. Peperangan ini berlangsung puluhan tahun.
Hal yang jarang diberitakan oleh para sejarawan adalah bahwa Islam sebagai
dasar semangat tempur mereka.
Para Sejarawan sering menulis bahwa agama yang dianut oleh Si Singamangaraja
adalah Palbegu, semacam ajaran animisme yang memuja para dewa. Ini sulit sekali
kita terima bila kita teliti cap kerajaan Si Singamangaraja XII yang berbunyi:
"Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi
1304 ". Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa pekatnya ajaran Islam
mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih
diabadikan, sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mempertahankan
huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula jika kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam
pada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Akan lebih jelas jika kita kutip
komentar koran koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang dianut oleh
Si Singamangaraja XII, antara lain: Volgens berichten van de bevolking moet de
togen,woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd,
doch hij wird geen fanatiek islamiet en oefende geen druk op zijn ongeving uit
om zich te bekeeren" (Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang
(maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu
telah memeluk Islam dengan fanatik. Demikian pula ia tidak menekankan supaya
orang orang sekelilingnya menukar agama).
Berita di atas memberikan data bahwa Si Singamangaraja beragama Islam dan tidak
memaksakan agamanya terhadap rakyat. Berbeda dengan penyebaran agama yang
dilakukan oleh Rijnsche Zending di Toba yang disertai serangan militer Belanda.
Serangan semacam ini baik yang dilancarkan tahun 1861 maupun 1877 juga
bermaksud untuk menguasai daerah daerah Toba yang subur.
Tak mengherankan jika Si Singamangaraja membalas serangan tersebut dengan tak
kalah keras. Dalam perjuangan bersenjata tersebut beliau bekerjasama dengan
Panglima Nali dari Minangkabau, daerah yang sejak dulu merupakan basis
perjuangan Islam, dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, Serambi Makkah. Selain
karena satu keyakinan, letak Tapanuli yang berada di tengah tengah antara Aceh
dan Sumatra Barat juga sangat menunjang terjadinya kerjasama tersebut.
Penguasaan daerah Tapanuli oleh Belanda secara fisik bisa dikatakan berhasil.
Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar telah berhasil didudukinya. Namun apalah
artinya penguasaan tersebut jika tidak bisa menundukkan kemauan rakyatnya. Daya
juang yang tinggi dimiliki oleh rakyat Tapanuli, dan daya juang yang demikian
itu biasanya hanya dimiliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang
mengajarkan pembelaan diri apabila diserang. Disini Si Singamangaraja memiliki
agama tersebut, yakni Islam. Keislamannya telah menunjangnya untuk mampu
bertahan dan berjuang selama tigapuluh tahun lamanya. Beliau tidak hanya
dianggap sebagai raja oleh rakyatnya, tetapi juga sebagai Imam dalam Agamanya.
Faktor dukungan dari rakyat ini menunjang sekali dalam perjuangan bangsa
melawan penjajahan.
Menghadapi seorang pemimpin yang mempunyai kharisma besar dan didukung penuh
oleh rakyatnya tersebut, Belanda berusaha menggunakan cara licik. Ibu,
Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Dengan demikian
diharapkan beliau bisa digiring ke meja perundingan. Namun cara ini gagal
total, karena kompromi tidak bisa tercapai.
Sejalan dengan situasi Tapanuli tersebut, Belanda memancarkan serangan membabi
buta terhadap Ulama' di Aceh yang merupakan tulang punggung gerilya. Tindakan
ini merupakan realisasi dari nasihat Snouck Hurgronje,seorang orientalis, untuk
mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama. Operasi yang sangat
kejam dengan melakukan pembunuhan semena mena terhadap pemuka pemuka Islam
tersebut mendapat restu pula dari menteri Bergsman.
Tindakan Belanda terhadap Ulama Ulama di Aceh tersebut ditambah dengan kalahnya
persenjataan membuat kekuatan Si Singamangaraja semakin berkurang. Politik
Pintu Terbuka yang menuntut pengamanan modal asing, melibatkan negara negara
imperialis lainnya untuk membantu usaha Belanda mengakhiri perlawanan umat
Islam di Indonesia. Termasuk perlawanan Si Singamangaraja.
Pada 17 Juni 1907 di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat
pertahanan Si Singamangaraja. Sampai saat pertempuran terakhir ini, beliau
bersama putrinya Lopian, memilih gugur sebagai Syuhada daripada menyerahkan
Bumi Islam Tapanuli di atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Kini tangan tangan tak bertanggung jawab mencoba mengaburkan fakta sejarah
untuk tujuan tertentu. Gelar Syuhada diganti dengan atribut lain yang tak
memiliki dasar dan fakta. Termasuk klaim yang mengatakan bahwa bagian timur
negeri tercinta kita adalah basis agama tertentu dengan menafikan peran muslim
di wilayah tersebut. Padahal sebagian besar Maluku, NTB, Ternate, Tidore dan
Sulawesi mayoritas Islam. Mungkinkah Sultan Baabullah, Sultan Nuku, Sultan
Hasanudin bukan pahlawan pahlawan Islam....? Terlalu bodoh untuk dijawab
"Ya..., mungkin". Hasbunallah wani'mal wakil.
Sumber:
Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Ahmad Mansur
Suryanegara
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini
Lazim diketahui oleh para ahli sejarah bahwa pola penulisan sejarah yang dewasa
ini berkembang mengikuti klasifikasi tertentu. Ada penulisan sejarah berdasar
agama, disebut religious historical, ada pula yang memandangnya dari sudut
lain, nasionalisme misalnya.
Konsep nasionalisme sebagai suatu ideologi merupakan konsep yang baru. Menurut
Islam konsep ini bertentangan dengan konsep kesatuan umat. Ia hanyalah sarana
bagi musuh musuh Islam untuk memecah dan melemahkan kekuatan Islam. Jadi konsep
penulisan sejarah dengan bersandarkan pada nasionalisme juga merupakan pola
penulisan yang baru.
Perjuangan Si Singamangaraja, Pattimura, P. Diponegoro dan yang lainnya secara
substansial sulit dimasukkan dalam frame perjuangan berskala nasional. Apalagi
dikaitkan dengan semangat nasionalisme. Data sejarah menunjukkan bahwa dasar
perjuangan mereka dalam melawan penjajahan adalah Islam. P. Diponegoro bahu
membahu dengan para ulama menyatukan rakyat untuk bertempur melawan para
penjajah. Begitu pula dengan Cut Nya' Dien, Pattimura, Si Singamangaraja dan
lain lainnya.
Belanda dan Strategi Kristenisasi
Belanda ketika menyerbu suatu daerah berusaha menjadikan penduduk sekitarnya
menjadi pengikut Nashrani. Tujuannya adalah agar perlawanan dapat padam dengan
sendirinya, karena mereka menganggap penjajah dan penduduk setempat akan diikat
oleh persatuan kristiani.
Daerah Tapanuli bisa menjadi contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik
kristenisasi sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG.Westhof,
seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, mengatakan:"Pada
pendapat kami, untuk tetap memiliki jajahan jajahan kita, sebagian besar
tergantung pada konsep kristenisasi pada rakyat setempat. Baik yang belum
memeluk agama maupun yang sudah beragama Islam".(J.H. Meerwaltd,1903,111 dan
Solichin Salam,1965,50)
Gerakan agresi agama ini besar kemungkinan mulai dilancarkan pada tahun 1824,
terbukti terjadi pembunuhan pendeta baptis Amerika bernama Munson dan Lyman di
Sinaksak. Sedang pada tahun 1861 gerakan pengkristenan ini makin kuat dengan
berdirinya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Untuk keperluan ini pemerintah
Belanda menunjuk missionaris Nommensen dan Simoniet untuk menangani program
pengkristenan ini secara lebih besar. Atas jasa yang demikian besar pemerintah
Belanda menganugerahkan bintang Officer van Oranje-Nassau kepada Nommensen pada
tahun 1911.
Di beberapa daerah strategi ini berhasil memadamkan perlawanan dan megubah
sebagian kecil komposisi penduduk dari Islam ke kristen. Namun secara luas
strategi ini gagal, bahkan menghasilkan perlawanan yang amat keras dan panjang.
Perjuangan Si Singamangaraja XII
Dalam kondisi tertekan akibat monopoli ekonomi, serangan kristenisasi, dominasi
politik kolonial, Si Singamangaraja XII dinobatkan sebagai Maharaja negeri
Toba, bersamaan dengan diterapkannya open door policy(politik pintu terbuka).
Saat itu tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Korte Volkering
-Perjanjian Pendek- yang menegaskan dominasi Belanda di bidang politik,
ekonomi, dan lain lain.
Akibatnya terjadi peperangan yang panjang antara Aceh dan Tapanuli di satu
pihak dengan Belanda di pihak lain. Peperangan ini berlangsung puluhan tahun.
Hal yang jarang diberitakan oleh para sejarawan adalah bahwa Islam sebagai
dasar semangat tempur mereka.
Para Sejarawan sering menulis bahwa agama yang dianut oleh Si Singamangaraja
adalah Palbegu, semacam ajaran animisme yang memuja para dewa. Ini sulit sekali
kita terima bila kita teliti cap kerajaan Si Singamangaraja XII yang berbunyi:
"Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi
1304 ". Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa pekatnya ajaran Islam
mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih
diabadikan, sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mempertahankan
huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula jika kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam
pada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Akan lebih jelas jika kita kutip
komentar koran koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang dianut oleh
Si Singamangaraja XII, antara lain: Volgens berichten van de bevolking moet de
togen,woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd,
doch hij wird geen fanatiek islamiet en oefende geen druk op zijn ongeving uit
om zich te bekeeren" (Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang
(maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu
telah memeluk Islam dengan fanatik. Demikian pula ia tidak menekankan supaya
orang orang sekelilingnya menukar agama).
Berita di atas memberikan data bahwa Si Singamangaraja beragama Islam dan tidak
memaksakan agamanya terhadap rakyat. Berbeda dengan penyebaran agama yang
dilakukan oleh Rijnsche Zending di Toba yang disertai serangan militer Belanda.
Serangan semacam ini baik yang dilancarkan tahun 1861 maupun 1877 juga
bermaksud untuk menguasai daerah daerah Toba yang subur.
Tak mengherankan jika Si Singamangaraja membalas serangan tersebut dengan tak
kalah keras. Dalam perjuangan bersenjata tersebut beliau bekerjasama dengan
Panglima Nali dari Minangkabau, daerah yang sejak dulu merupakan basis
perjuangan Islam, dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, Serambi Makkah. Selain
karena satu keyakinan, letak Tapanuli yang berada di tengah tengah antara Aceh
dan Sumatra Barat juga sangat menunjang terjadinya kerjasama tersebut.
Penguasaan daerah Tapanuli oleh Belanda secara fisik bisa dikatakan berhasil.
Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar telah berhasil didudukinya. Namun apalah
artinya penguasaan tersebut jika tidak bisa menundukkan kemauan rakyatnya. Daya
juang yang tinggi dimiliki oleh rakyat Tapanuli, dan daya juang yang demikian
itu biasanya hanya dimiliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang
mengajarkan pembelaan diri apabila diserang. Disini Si Singamangaraja memiliki
agama tersebut, yakni Islam. Keislamannya telah menunjangnya untuk mampu
bertahan dan berjuang selama tigapuluh tahun lamanya. Beliau tidak hanya
dianggap sebagai raja oleh rakyatnya, tetapi juga sebagai Imam dalam Agamanya.
Faktor dukungan dari rakyat ini menunjang sekali dalam perjuangan bangsa
melawan penjajahan.
Menghadapi seorang pemimpin yang mempunyai kharisma besar dan didukung penuh
oleh rakyatnya tersebut, Belanda berusaha menggunakan cara licik. Ibu,
Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Dengan demikian
diharapkan beliau bisa digiring ke meja perundingan. Namun cara ini gagal
total, karena kompromi tidak bisa tercapai.
Sejalan dengan situasi Tapanuli tersebut, Belanda memancarkan serangan membabi
buta terhadap Ulama' di Aceh yang merupakan tulang punggung gerilya. Tindakan
ini merupakan realisasi dari nasihat Snouck Hurgronje,seorang orientalis, untuk
mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama. Operasi yang sangat
kejam dengan melakukan pembunuhan semena mena terhadap pemuka pemuka Islam
tersebut mendapat restu pula dari menteri Bergsman.
Tindakan Belanda terhadap Ulama Ulama di Aceh tersebut ditambah dengan kalahnya
persenjataan membuat kekuatan Si Singamangaraja semakin berkurang. Politik
Pintu Terbuka yang menuntut pengamanan modal asing, melibatkan negara negara
imperialis lainnya untuk membantu usaha Belanda mengakhiri perlawanan umat
Islam di Indonesia. Termasuk perlawanan Si Singamangaraja.
Pada 17 Juni 1907 di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat
pertahanan Si Singamangaraja. Sampai saat pertempuran terakhir ini, beliau
bersama putrinya Lopian, memilih gugur sebagai Syuhada daripada menyerahkan
Bumi Islam Tapanuli di atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Kini tangan tangan tak bertanggung jawab mencoba mengaburkan fakta sejarah
untuk tujuan tertentu. Gelar Syuhada diganti dengan atribut lain yang tak
memiliki dasar dan fakta. Termasuk klaim yang mengatakan bahwa bagian timur
negeri tercinta kita adalah basis agama tertentu dengan menafikan peran muslim
di wilayah tersebut. Padahal sebagian besar Maluku, NTB, Ternate, Tidore dan
Sulawesi mayoritas Islam. Mungkinkah Sultan Baabullah, Sultan Nuku, Sultan
Hasanudin bukan pahlawan pahlawan Islam....? Terlalu bodoh untuk dijawab
"Ya..., mungkin". Hasbunallah wani'mal wakil.
Sumber:
Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Ahmad Mansur
Suryanegara
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini