Di tengah keragaman budaya dan kekayaan adat Batak yang membentang luas dari Sumatera Utara hingga perantauan, muncul fenomena sosial yang cukup memprihatinkan: saling membuli antar sesama orang Batak dengan istilah “dalle”. Istilah ini kerap digunakan untuk menyebut orang Batak yang dianggap tidak paham adat, tidak fasih berbahasa Batak, atau berasal dari daerah yang dianggap tidak murni dalam tradisi Batak. Fenomena ini bukan saja mencederai semangat persaudaraan Dalihan Na Tolu, tapi juga menjadi cermin diskriminasi internal yang berbahaya.
Bully dalam bentuk apapun sejatinya tidak dapat dibenarkan. Baik secara langsung maupun terselubung, tindakan ini bisa meninggalkan luka batin yang mendalam bagi korban. Dalam konteks Batak, ketika seseorang dicap “dalle”, itu bukan sekadar ejekan biasa. Kata ini mengandung nada merendahkan dan seolah mempertanyakan keabsahan identitas seseorang dalam komunitas adat Batak.
Ironisnya, sebagian pelaku justru menganggap tindakan semacam ini sebagai bagian dari kelakar budaya atau adat di kampung halaman (huta). Mereka berdalih bahwa hal semacam ini wajar dilakukan sebagai cara menjaga kemurnian adat. Padahal, sikap seperti ini justru bertentangan dengan nilai dasar budaya Batak yang menjunjung tinggi persaudaraan, penghormatan antar sesama, dan solidaritas sosial.
Sejarah panjang masyarakat Batak sendiri sudah mengalami berbagai evolusi sejak era pra-Pusuk Buhit, Barus yang dikenal sebagai pelabuhan tua, hingga masa kejayaan kerajaan-kerajaan besar seperti Samudera Pasai, Sriwijaya, Majapahit, dan Pagaruyung. Setiap masa meninggalkan jejak budaya yang kemudian memperkaya keragaman adat di setiap huta atau kampung. Adat Batak di Tapanuli Utara tentu memiliki kekhasan berbeda dengan yang di Samosir, Mandailing, atau Labuhan Batu.
Masuknya pengaruh Kesultanan Aceh, kekuasaan Belanda, hingga era kemerdekaan pun turut membentuk variasi karakter dan adat di berbagai wilayah Batak. Oleh sebab itu, menganggap adat di satu huta lebih sah dibandingkan adat di tempat lain merupakan pandangan sempit yang tak sejalan dengan semangat persatuan. Apalagi sampai merendahkan orang lain dengan sebutan “dalle” hanya karena perbedaan pemahaman adat.
Banyak di antara keturunan Batak kini lahir dan besar di luar kampung halaman. Ada yang tumbuh di kota besar, bahkan di luar negeri. Tidak sedikit di antaranya yang memang tidak lagi fasih berbahasa Batak atau tak memahami detail adat-istiadat tradisional. Namun, hal itu tidak lantas membuat mereka kehilangan identitas Bataknya. Seseorang tetap Batak karena darah, marga, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan, bukan semata karena ia mampu menyebutkan urutan paradaton di acara adat.
Dalam istilah Hindi, kata “dalla” yang sering disamakan dengan “dalle” di kalangan Batak memiliki arti yang beragam. Di antaranya berarti broker, perantara, hingga istilah yang dalam perkembangan sosial memiliki konotasi negatif. Dalam konteks Batak, “dalle” awalnya memang digunakan untuk menyebut orang Batak asal Tanjung Bale atau Ledong yang tak memahami adat. Sayangnya, seiring waktu, istilah ini berkembang menjadi alat bully terhadap orang Batak di luar komunitas adat tertentu.
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian bersama. Saling menghormati perbedaan adat antar huta adalah bentuk kedewasaan budaya. Tak selayaknya satu kelompok merasa adatnya paling sah, sementara adat huta lain dianggap kurang sempurna. Setiap daerah memiliki sejarah, konteks sosial, dan pengaruh budaya yang membentuk adatnya masing-masing.
Salah satu cara mencegah bully dengan sebutan “dalle” ini adalah dengan membangun edukasi budaya yang inklusif. Orang Batak di perantauan maupun di kampung halaman perlu didorong untuk memahami bahwa keberagaman adat bukan ancaman, tapi kekayaan. Forum-forum diskusi, komunitas adat lintas huta, dan pelestarian tradisi tanpa diskriminasi akan sangat membantu.
Peran para tetua adat, tokoh masyarakat, dan generasi muda juga sangat penting dalam menghentikan praktik ini. Sebab, bila terus dibiarkan, tindakan membuli sesama Batak dengan sebutan merendahkan dapat merusak ikatan persaudaraan yang sejak dulu menjadi kekuatan utama suku Batak. Perselisihan kecil semacam ini bisa memecah belah kekompakan masyarakat di era modern.
Lebih bijak bila setiap orang Batak saling menghormati adat di huta masing-masing. Tidak perlu memaksakan adat daerah asal kepada orang lain, sebab konteks sosial dan sejarah di tiap wilayah sudah pasti berbeda. Prinsip “hamoraon, hagabeon, hasangapon” bisa dicapai bila ada rasa saling menerima dan tidak saling merendahkan.
Perlu juga dipahami bahwa budaya Batak memiliki unsur egaliter yang kuat. Setiap orang, apapun status sosialnya, diakui haknya dalam adat. Karena itu, menjuluki seseorang dengan sebutan “dalle” bukan hanya perbuatan tidak sopan, tapi juga mencederai tatanan sosial Batak itu sendiri.
Di zaman modern ini, saat informasi begitu mudah diakses, sebaiknya masyarakat Batak lebih selektif dan bijak menggunakan istilah-istilah yang berpotensi menyakiti sesama. Edukasi digital tentang asal-usul istilah “dalle” dan konteks penggunaannya perlu disebarluaskan agar tidak salah kaprah dan menjadi senjata bully antar saudara.
Sebagai suku besar dengan sejarah peradaban panjang, Batak seharusnya menjadi teladan dalam hal toleransi internal. Saling merangkul, menjaga persatuan, dan menguatkan identitas bersama lebih penting ketimbang mempertentangkan adat mana yang lebih sah. Sebab, pada akhirnya, semua orang Batak adalah saudara.
Dengan kesadaran bersama, budaya Batak bisa tetap lestari tanpa harus merendahkan satu sama lain. Setiap perbedaan adat di masing-masing huta adalah bagian dari mozaik besar warisan leluhur yang patut dijaga dan dihormati bersama. Saling memahami, saling menghormati, dan saling mendukung, itulah cara terbaik menjaga kekuatan budaya Batak di masa kini dan masa depan.
Dibuat oleh AI