"Etos Kerja" Suku Jawa dan Potensi Budaya dalam Pembangunan di Kab Simalungun
Ditulis oleh Redaksi
Sabtu, 25 Maret 2006
Oleh Robert Siregar dan Dadang Pramono
Potensi Budaya dalam pembangunan
Sistem nilai adalah suatu system nilai budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit seperti aturan-aturan khusus, hukum norma-norma yang semuanya berpedoman pada sistem nilai yang merupakan ciri khas bagi suatu masyarakat. Nilai-nilai yang ingin dicapai itu haruslah sesuai dengan permintaan masyarakat yang dilayani. Jadi tidak tepat misalnya bila kita membuat sasaran menghapuskan buta aksara atau kalau semua orang sudah dapat membaca sebab hal itu tidak lagi dibutuhkan masyarakat.
Sama halnya lagi seperti Kabupaten Simalungun, didalam membuat perencanaan strategis yang didalamnya akan ditetapkan visi dan misi, harus didasari oleh nilai-nilai strategis yang ada di Kabupaten Simalungun dan asli merupakan nilai yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adapun nilai-nilai strategis yang tetap hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat Kabupaten Simalungun adalah sebagai berikut :
Nilai Moral (Habonaron do Bona).
Apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia (Habonaron do Bona) artinya kebenaran adalah sumber utama. Nilai ini akan menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi serta merupakan penuntutan dalam mendorong keberhasilan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Simalungun. Namun semangat Habonaron do Bona juga secara kolektif dilaksanakan oleh suku-suku lain yang ada di wilayah ini.
Nilai Etos Kerja
Nilai etos kerja ini bisa juga disebut sebagai nilai pembangunan dimana sampai saat ini Kabupaten Simalungun mempunyai motto nilai etos kerja yang telah berakar sejak zaman dahulu yaitu “Salana ma saluar, saluar panjang kaki, hata nadop tarluar, mayah ulakansi” yang artinya sikap penuh hati-hati, selalu terbayang akan resiko jika gegabah. Dengan nilai etos kerja yang dimiliki oleh suku Simalungun semakin menguatkan nilai budaya yang dimiliki oleh suku lainnya dalam wilayah ini untuk melaksanakan pembangunan.
Nilai adat istiadat
Nilai adat istiadat ini dapat juga disebut dengan adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Adat tata kelakuan yang dimaksud disini adalah menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
nilai Historis
Sejarah Simalungun dimulai sekitar tahun 500 Masehi yaitu berdirinya kerajaan NAGUR. Pada saat ini wilayah kerajaan NAGUR meliputi seluruh Sumatera bagian utara dimana terbentang luas dari pantai barat Sumatera sampai ke Selat Malaka disebelah Timur dan disebelah Utara disebut Jayu atau yang sekarang Aceh sampai ke Toba Selatan. Pada masa kerajaan NAGUR ini pertanian dan perkebunan sudah dikenal oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari lapisan tanah yang dimiliki Kabupaten Simalungun dinyatakan bahwa struktur tanah dan unsur hara tanah, cocok untuk tanaman kultur teh, karet, kelapa sawit. Dan dapat diyakini bahwa kebudayaan ini sampai sekarang tetap membudaya di Kabupaten Simalungun dan disimpulkan sebagai bidang strategis. Dan kaitan yang kita dapat cermati juga dari segi historis pada tatanan pakaian kebesaran suku Simalungun “Gotong” yang memiliki corak batik Jawa, sehingga nilai historis ini memiliki nilai kolektifitas yang ada di daerah ini.
Nilai Religius
Nilai religius ini sifatnya sudah permanen di Kabupaten Simalungun sama halnya dengan daerah lain bahkan negara Indonesia sendiri selaku negara beragama, dimana setiap pekerjaan atau aktivitas tersebut selalu dihubungkan dengan kekuasaan sang pencipta Allah yang maha kuasa. Hal ini bisa kita lihat dari agama yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Simalungun yang terdiri dari agama Islam, agama Kristen Protestan, agama Katolik dan agama lainnya.
Nilai Mandiri (Kreatif dan Inovatif)
Mandiri dalam arti mengurangi ketergantungan kepada orang lain. Nilai mandiri yang telah dimiliki masyarakat Simalungun berarti bahwa masyarakat Simalungun dari dulunya sudah memiliki etos kerja yang tinggi dalam melakukan kegiatan. Hal ini terbukti dari surplusnya Kabupaten Simalungun dalam pertanian seperti beras, perkebunan, yang bahkan telah mampu menyuplai ke daerah lain. Selanjutnya kemandirian ini juga akan terwujud dalam perumusan kebijaksanaan.
nilai sejahtera (habayakon, hasirsiron, hasangapon)
Sejahtera yang dimaksud disini sudah mencakup beberapa segi kehidupan yang sekarang ini apabila dilihat keadaannya dalam masyarakat semakin berkembang. Salah satunya adalah kemauan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan sudah sangat pesat. Hal ini dapat kita lihat dari penduduk Kabupaten Simalungun yang telah banyak menyelesaikan pendidikannya di berbagai perguruan tinggi di Indonesia bahkan keluar negeri. Dan yang kedua masalah kesehatan juga sama halnya dengan pendidikan, dimana Kabupaten Simalungun sudah mempunyai rumah sakit yang telah diakui di Kabupaten Simalungun sendiri maupun diluar Kabupaten Simalungun. Hal ini membuktikan bahwa Kabupaten Simalungun sudah mampu menanggulangi kesehatan sendiri bahkan diluar Simalungun.
Dan yang ketiga adalah masalah pemenuhan kebutuhan pokok. Sebenarnya Kabupaten Simalungun sudah lama menjadi daerah yang swasembada pangan. Ini merupakan bukti bahwa Kabupaten Simalungun itu sudah sanggup membutuhi kebutuhan pokoknya bahkan sampai mengekspor ke daerah lain di luar Kabupaten Simalungun.
Nilai-Nilai institusi (partuha maujana, arisan marga dan serikat tolong-menolong)
Sebelum institusi/lembaga dibentuk, Kabupaten Simalungun telah memiliki nilai-nilai institusi yang dapat kita lihat sehari-hari yaitu adanya Partuha Maujana atau kumpulan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Simalungun yang telah lama dikenal. Selain itu, masyarakat Simalungun telah lama mengenal arisan dan serikat tolong-menolong. Dan salah satunya yang sejak dulu telah lama berakar di Kabupaten Simalungun yaitu : “Tolu Sahundulan, Lima Saodoran” yang merupakan sistem kekerabatan dikalangan masyarakat adat Simalungun. Dan kemajemukan nilai institusi ini dapat kita lihat dalam keseharian masyarakat dalam menggunakan tatanan adat istiadat yang telah menyatu dalam pelaksanaannya.
Penutup
Pada akhirnya sebagai suatu kompleksitas dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, kebudayaan itu bersifat lebih kongkret, dapat diamati atau diobservasi, serta divisualisasikan. Seperti yang utarakan oleh para ahli antropolog dan sosiolog menyebutkan kebudayaan dalam wujud kedua sebagai “sistem sosial” (social system). Dimana aktivitas manusia yang berinteraksi dan bergaul dengan sesamanya, biasanya berpola dan diatur serta ditata oleh gagasan-gagasan dan tema-tema yang berada dalam pikirannya. Maka dalam suatu wilayah yang kompleks dengan potensi yang dimiliki diperlukan suatu nafas yang kolektif guna mencapai suatu hasil yang optimal. Begitu juga dengan potensi “Etos kerja” yang dimiliki oleh suku Jawa di Kab. Simalungun yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda di bumi Simalungun dalam rangka pengembangan wilayah ini dengan melakukan berbagai aktivitas dan juga memberikan kontribusi yang tidak kecil, maka sudah sewajarnyalah potensi ini kita menyatakan sebagai potensi yang besar dalam pembangunan di daerah ini.
Dan potensi ini juga harus dapat menyatukan pola, budaya, dan keragaman yang dimiliki dengan potensi lainnya yang ada di Kab. Simalungun demi terwujudnya pembangunan yang kita inginkan dalam menghadapi kemajuan dan perubahan jaman yang semakin global. Horas, Horas, Horas ... ! (Penulis pertama adalah pemerhati wilayah, sedang mengikuti program PHd di Universitas Malaya Kuala Lumpur. Penulis Kedua adalah Koresponden SIB).
Kerajaan-kerajaan di Simalungun
KERAJAAN DOLOK SILAU
Diyakini, di sekitar daerah yang dihuni masyarakat suku Simalungun sekarang, pernah berdiri sebuah kerajaan yang wilayahnya lebih luas dari wilayah suku Simalungun yang kita kenal sekarang. Kerajaan yang bermula dari sekitar tahun 900 Masehi ini bernama Silou, diperintah secara turun-temurun oleh raja bermarga Purba. Ada tiga nama yang dikabarkan pernah memimpin kerajaan ini, yaitu : (1)Jigou, (2)Moraijou, dan (3)Tariti. Ketiganya adalah raja generasi pertama, kedua dan ketiga. Selain nama ketiga orang itu, hal yang cukup meyakinkan kita akan pernah adanya kerajaan ini adalah adanya nama-nama tempat yang menggukakan kata Silou. Diantaranya adalah : (a). Silou Buntu dan Silou Raya di wilayah kecamatan Raya sekarang, (b). Nagori Silou di wilayah kecamatan Panei sekarang, (c). Silou Marihat di wilayah kecamatan Dolog Huluan sekarang, (d). Silou Malela, Silou Bayu dan Silou Malaha di wilayah kotamadya Pematang Siantar sekarang, (e). Silou Bosar, Silou Majawa dan Silou di wilayah kecamatan Tanah Jawa, (f). Silou Marawan, Silou Kahean, Silou Dunia, Silou Hanopan dan Silou Panribuan di wilayah kecamatan Dolog Silou sekarang, serta (g). Silou Laut, Silou dan Silou Parhutaan di daerah kabupaten Asahan sekarang. Cukup menarik memang, karena sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti dimana letak ibukota kerajaan Silou ini, sekalipun Pdt. Jaulung Wismar Saragih Sumbayak (dinobatkan sebagai tokoh PELOPOR KEBANGUNAN SIMALUNGUN oleh Partuha-partuha Maujana Simalungun) dalam Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia pada tahun 1964 mengatakan : "....Kuburan dari raja Tariti ini..." "...masih diurus oleh turunannya pada kira-kira 20 tahun yang lewat". Masih menurut Pdt. J. Wismar Saragih Sumbayak (meninggal pada tanggal 7 Maret 1968), kemungkinan besar letak ibukota kerajaan ini adalah di Dolok Marawan (mungkin yang beliau maksudkan adalah wilayah kecamatan Dolok Merawan sekarang, penulis.) dengan alasan disana ada nama yang lebih signifikan yakni Parhutaan Silou. Bila hal itu benar, berarti kerajaan Silou ini masih lebih besar dari kerajaan Na Opat; kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Simalungun sekarang. Konon, kerajaan Silou ini kemudian terbagi menjadi dua, yaitu: (1)Kerajaan Batangiou di sebelah selatan yang diperintah oleh raja bermarga Sinaga, dan (2)Kerajaan Nagur di sebelah utara yang diperintah oleh raja bermarga Damanik.
Kerajaan Batangiou
Kebiasaan tulis-menulis tidak dimiliki oleh masyarakat suku Simalungun dahulu. Hal itu hanya dikuasai oleh beberapa gelintir orang, yaitu datu-datu (para dukun). Itu pun dipakai hanya untuk hal-hal tertentu seperti menuliskan tabas-tabas (mantra). Dengan demikian dapat dimaklumi kalau kita tidak memiliki sumber-sumber memadai untuk mengetahui apa dan bagaimana kerajaan-kerajaan suku Simalungun tersebut. Semua yang terjadi dalam satu generasi hanya diketahui oleh generasi berikutnya lewat cerita dari mulut ke mulut, sehingga bahkan para peserta Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia tahun 1964 itu pun tidak bisa menyepakati dimana letak pusat pemerintahan kerajaan Batangiou ini. J. E. Saragih,s alah seorang panelis pada Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia dimaksud mengatakan bahwa wilayah kerajaan Batangiou tersebut meliputi wilayah Tanah Jawa (kecamatan) dan Siantar (kotamadya).
Kerajaan Nagur
Kerajaan Nagur diperintah secara turun-temurun oleh raja marga Damanik. Semua raja yang pernah memerintah kerajaan ini dijuluki sebagai Raja Nagur. Kerajaan ini bermula sekitar abad ke-14, atau bersamaan waktunya dengan masuknya bangsa Eropah ke Nusantara, dan berakhir sekitar tahun 1770 oleh serangan dari kerajaan Raya yang kala itu diperintah oleh Raja Martuah.Nama "Nagur" ini sekarang diabadikan sebagai nama-nama jalan di beberapa tempat di kabupaten Simalungun. Salah-satunya di kelurahan Sondiraya, kecamatan Raya. Seperti halnya kerajaan Batangiou, pusat pemerintahan kerajaan ini juga belum diketahui secara pasti. Pdt. J. Wismar Saragih Sumbayak menginventaris dua pendapat yang berbeda, yakni (1)"dekat Tigarunggu" dan (2)"dekat Nagaraja" dengan alasan di sekitar Nagaraja banyak perkampungan yang mengandung nama Nagur, seperti Nagur Bayu, Nagur Usang, Mariah Nagur dan Nagur Raja (sekarang Nagaraja). Pendapat yang lain lagi (Somen Purba, B.A.) mengatakan kerajaan Nagur berdiri di Dolok Silou. Sementara Taralamsyah Saragih Garingging dalam bukunya berjudul "SARAGIH GARINGGING" dengan tegas menyebutkan "Rumah Bolon Nagur" (dapat diartikan sebagai "Istana Nagur") di Nagurusang. Pada masa jayanya kerajaan Nagur memiliki wilayah yang sangat luas, lebih luas dari kabupaten Simalungun sekarang. Wilayahnya membentang dari tepi timur Danau Toba sampai ke daerah pesisir pantai timur wilayah Sumatera Utara sekarang dan dari Hinalang di utara sampai ke ... di wilayah kabupaten Asahan sekarang. Jadi, wilayah kabupaten Deli Serdang sekarang, pada awalnya juga masih dalam kekuasaan Raja Nagur sebelum didirikannya kerajaan Deli (1508) oleh marga Munthe yang akhirnya direbut oleh pendatang Maya-maya (sebutan orang Simalungun untuk suku bangsa Melayu). Dengan berdirinya kerajaan Deli, serta ditaklukkannya penguasa-penguasa daerah pesisir pantai (dan dijadikan kerajaan-kerajaan kecil yang tunduk kepada pemerintah Aceh) pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, wilayah Nagur semakin sempit. Pada saat itulah muncul panglima tangguh di kerajaan Nagur, yakni Tuan Raya Simbolon, leluhur Raja Raya).
Kerajaan Raya
Berbicara tentang sejarah kerajaan Raya, tidak bisa lepas dari masa-masa akhir kerajaan Nagur, Raja Raya yang pertama memulai karirnya sebagai "Puanglima" (Indonesia: Panglima) dari Raja Nagur. Namun maaf, anda belum bisa mendapatkan informasi lebih jauh tentang kerajaan Raya disini karena halaman ini masih dalam proses pembangunan.
Kerajaan Tanoh Jawa
Kerajaan Purba
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini
Ditulis oleh Redaksi
Sabtu, 25 Maret 2006
Oleh Robert Siregar dan Dadang Pramono
Potensi Budaya dalam pembangunan
Sistem nilai adalah suatu system nilai budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit seperti aturan-aturan khusus, hukum norma-norma yang semuanya berpedoman pada sistem nilai yang merupakan ciri khas bagi suatu masyarakat. Nilai-nilai yang ingin dicapai itu haruslah sesuai dengan permintaan masyarakat yang dilayani. Jadi tidak tepat misalnya bila kita membuat sasaran menghapuskan buta aksara atau kalau semua orang sudah dapat membaca sebab hal itu tidak lagi dibutuhkan masyarakat.
Sama halnya lagi seperti Kabupaten Simalungun, didalam membuat perencanaan strategis yang didalamnya akan ditetapkan visi dan misi, harus didasari oleh nilai-nilai strategis yang ada di Kabupaten Simalungun dan asli merupakan nilai yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adapun nilai-nilai strategis yang tetap hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat Kabupaten Simalungun adalah sebagai berikut :
Nilai Moral (Habonaron do Bona).
Apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia (Habonaron do Bona) artinya kebenaran adalah sumber utama. Nilai ini akan menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi serta merupakan penuntutan dalam mendorong keberhasilan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Simalungun. Namun semangat Habonaron do Bona juga secara kolektif dilaksanakan oleh suku-suku lain yang ada di wilayah ini.
Nilai Etos Kerja
Nilai etos kerja ini bisa juga disebut sebagai nilai pembangunan dimana sampai saat ini Kabupaten Simalungun mempunyai motto nilai etos kerja yang telah berakar sejak zaman dahulu yaitu “Salana ma saluar, saluar panjang kaki, hata nadop tarluar, mayah ulakansi” yang artinya sikap penuh hati-hati, selalu terbayang akan resiko jika gegabah. Dengan nilai etos kerja yang dimiliki oleh suku Simalungun semakin menguatkan nilai budaya yang dimiliki oleh suku lainnya dalam wilayah ini untuk melaksanakan pembangunan.
Nilai adat istiadat
Nilai adat istiadat ini dapat juga disebut dengan adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Adat tata kelakuan yang dimaksud disini adalah menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
nilai Historis
Sejarah Simalungun dimulai sekitar tahun 500 Masehi yaitu berdirinya kerajaan NAGUR. Pada saat ini wilayah kerajaan NAGUR meliputi seluruh Sumatera bagian utara dimana terbentang luas dari pantai barat Sumatera sampai ke Selat Malaka disebelah Timur dan disebelah Utara disebut Jayu atau yang sekarang Aceh sampai ke Toba Selatan. Pada masa kerajaan NAGUR ini pertanian dan perkebunan sudah dikenal oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari lapisan tanah yang dimiliki Kabupaten Simalungun dinyatakan bahwa struktur tanah dan unsur hara tanah, cocok untuk tanaman kultur teh, karet, kelapa sawit. Dan dapat diyakini bahwa kebudayaan ini sampai sekarang tetap membudaya di Kabupaten Simalungun dan disimpulkan sebagai bidang strategis. Dan kaitan yang kita dapat cermati juga dari segi historis pada tatanan pakaian kebesaran suku Simalungun “Gotong” yang memiliki corak batik Jawa, sehingga nilai historis ini memiliki nilai kolektifitas yang ada di daerah ini.
Nilai Religius
Nilai religius ini sifatnya sudah permanen di Kabupaten Simalungun sama halnya dengan daerah lain bahkan negara Indonesia sendiri selaku negara beragama, dimana setiap pekerjaan atau aktivitas tersebut selalu dihubungkan dengan kekuasaan sang pencipta Allah yang maha kuasa. Hal ini bisa kita lihat dari agama yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Simalungun yang terdiri dari agama Islam, agama Kristen Protestan, agama Katolik dan agama lainnya.
Nilai Mandiri (Kreatif dan Inovatif)
Mandiri dalam arti mengurangi ketergantungan kepada orang lain. Nilai mandiri yang telah dimiliki masyarakat Simalungun berarti bahwa masyarakat Simalungun dari dulunya sudah memiliki etos kerja yang tinggi dalam melakukan kegiatan. Hal ini terbukti dari surplusnya Kabupaten Simalungun dalam pertanian seperti beras, perkebunan, yang bahkan telah mampu menyuplai ke daerah lain. Selanjutnya kemandirian ini juga akan terwujud dalam perumusan kebijaksanaan.
nilai sejahtera (habayakon, hasirsiron, hasangapon)
Sejahtera yang dimaksud disini sudah mencakup beberapa segi kehidupan yang sekarang ini apabila dilihat keadaannya dalam masyarakat semakin berkembang. Salah satunya adalah kemauan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan sudah sangat pesat. Hal ini dapat kita lihat dari penduduk Kabupaten Simalungun yang telah banyak menyelesaikan pendidikannya di berbagai perguruan tinggi di Indonesia bahkan keluar negeri. Dan yang kedua masalah kesehatan juga sama halnya dengan pendidikan, dimana Kabupaten Simalungun sudah mempunyai rumah sakit yang telah diakui di Kabupaten Simalungun sendiri maupun diluar Kabupaten Simalungun. Hal ini membuktikan bahwa Kabupaten Simalungun sudah mampu menanggulangi kesehatan sendiri bahkan diluar Simalungun.
Dan yang ketiga adalah masalah pemenuhan kebutuhan pokok. Sebenarnya Kabupaten Simalungun sudah lama menjadi daerah yang swasembada pangan. Ini merupakan bukti bahwa Kabupaten Simalungun itu sudah sanggup membutuhi kebutuhan pokoknya bahkan sampai mengekspor ke daerah lain di luar Kabupaten Simalungun.
Nilai-Nilai institusi (partuha maujana, arisan marga dan serikat tolong-menolong)
Sebelum institusi/lembaga dibentuk, Kabupaten Simalungun telah memiliki nilai-nilai institusi yang dapat kita lihat sehari-hari yaitu adanya Partuha Maujana atau kumpulan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Simalungun yang telah lama dikenal. Selain itu, masyarakat Simalungun telah lama mengenal arisan dan serikat tolong-menolong. Dan salah satunya yang sejak dulu telah lama berakar di Kabupaten Simalungun yaitu : “Tolu Sahundulan, Lima Saodoran” yang merupakan sistem kekerabatan dikalangan masyarakat adat Simalungun. Dan kemajemukan nilai institusi ini dapat kita lihat dalam keseharian masyarakat dalam menggunakan tatanan adat istiadat yang telah menyatu dalam pelaksanaannya.
Penutup
Pada akhirnya sebagai suatu kompleksitas dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, kebudayaan itu bersifat lebih kongkret, dapat diamati atau diobservasi, serta divisualisasikan. Seperti yang utarakan oleh para ahli antropolog dan sosiolog menyebutkan kebudayaan dalam wujud kedua sebagai “sistem sosial” (social system). Dimana aktivitas manusia yang berinteraksi dan bergaul dengan sesamanya, biasanya berpola dan diatur serta ditata oleh gagasan-gagasan dan tema-tema yang berada dalam pikirannya. Maka dalam suatu wilayah yang kompleks dengan potensi yang dimiliki diperlukan suatu nafas yang kolektif guna mencapai suatu hasil yang optimal. Begitu juga dengan potensi “Etos kerja” yang dimiliki oleh suku Jawa di Kab. Simalungun yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda di bumi Simalungun dalam rangka pengembangan wilayah ini dengan melakukan berbagai aktivitas dan juga memberikan kontribusi yang tidak kecil, maka sudah sewajarnyalah potensi ini kita menyatakan sebagai potensi yang besar dalam pembangunan di daerah ini.
Dan potensi ini juga harus dapat menyatukan pola, budaya, dan keragaman yang dimiliki dengan potensi lainnya yang ada di Kab. Simalungun demi terwujudnya pembangunan yang kita inginkan dalam menghadapi kemajuan dan perubahan jaman yang semakin global. Horas, Horas, Horas ... ! (Penulis pertama adalah pemerhati wilayah, sedang mengikuti program PHd di Universitas Malaya Kuala Lumpur. Penulis Kedua adalah Koresponden SIB).
Kerajaan-kerajaan di Simalungun
KERAJAAN DOLOK SILAU
Diyakini, di sekitar daerah yang dihuni masyarakat suku Simalungun sekarang, pernah berdiri sebuah kerajaan yang wilayahnya lebih luas dari wilayah suku Simalungun yang kita kenal sekarang. Kerajaan yang bermula dari sekitar tahun 900 Masehi ini bernama Silou, diperintah secara turun-temurun oleh raja bermarga Purba. Ada tiga nama yang dikabarkan pernah memimpin kerajaan ini, yaitu : (1)Jigou, (2)Moraijou, dan (3)Tariti. Ketiganya adalah raja generasi pertama, kedua dan ketiga. Selain nama ketiga orang itu, hal yang cukup meyakinkan kita akan pernah adanya kerajaan ini adalah adanya nama-nama tempat yang menggukakan kata Silou. Diantaranya adalah : (a). Silou Buntu dan Silou Raya di wilayah kecamatan Raya sekarang, (b). Nagori Silou di wilayah kecamatan Panei sekarang, (c). Silou Marihat di wilayah kecamatan Dolog Huluan sekarang, (d). Silou Malela, Silou Bayu dan Silou Malaha di wilayah kotamadya Pematang Siantar sekarang, (e). Silou Bosar, Silou Majawa dan Silou di wilayah kecamatan Tanah Jawa, (f). Silou Marawan, Silou Kahean, Silou Dunia, Silou Hanopan dan Silou Panribuan di wilayah kecamatan Dolog Silou sekarang, serta (g). Silou Laut, Silou dan Silou Parhutaan di daerah kabupaten Asahan sekarang. Cukup menarik memang, karena sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti dimana letak ibukota kerajaan Silou ini, sekalipun Pdt. Jaulung Wismar Saragih Sumbayak (dinobatkan sebagai tokoh PELOPOR KEBANGUNAN SIMALUNGUN oleh Partuha-partuha Maujana Simalungun) dalam Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia pada tahun 1964 mengatakan : "....Kuburan dari raja Tariti ini..." "...masih diurus oleh turunannya pada kira-kira 20 tahun yang lewat". Masih menurut Pdt. J. Wismar Saragih Sumbayak (meninggal pada tanggal 7 Maret 1968), kemungkinan besar letak ibukota kerajaan ini adalah di Dolok Marawan (mungkin yang beliau maksudkan adalah wilayah kecamatan Dolok Merawan sekarang, penulis.) dengan alasan disana ada nama yang lebih signifikan yakni Parhutaan Silou. Bila hal itu benar, berarti kerajaan Silou ini masih lebih besar dari kerajaan Na Opat; kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Simalungun sekarang. Konon, kerajaan Silou ini kemudian terbagi menjadi dua, yaitu: (1)Kerajaan Batangiou di sebelah selatan yang diperintah oleh raja bermarga Sinaga, dan (2)Kerajaan Nagur di sebelah utara yang diperintah oleh raja bermarga Damanik.
Kerajaan Batangiou
Kebiasaan tulis-menulis tidak dimiliki oleh masyarakat suku Simalungun dahulu. Hal itu hanya dikuasai oleh beberapa gelintir orang, yaitu datu-datu (para dukun). Itu pun dipakai hanya untuk hal-hal tertentu seperti menuliskan tabas-tabas (mantra). Dengan demikian dapat dimaklumi kalau kita tidak memiliki sumber-sumber memadai untuk mengetahui apa dan bagaimana kerajaan-kerajaan suku Simalungun tersebut. Semua yang terjadi dalam satu generasi hanya diketahui oleh generasi berikutnya lewat cerita dari mulut ke mulut, sehingga bahkan para peserta Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia tahun 1964 itu pun tidak bisa menyepakati dimana letak pusat pemerintahan kerajaan Batangiou ini. J. E. Saragih,s alah seorang panelis pada Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia dimaksud mengatakan bahwa wilayah kerajaan Batangiou tersebut meliputi wilayah Tanah Jawa (kecamatan) dan Siantar (kotamadya).
Kerajaan Nagur
Kerajaan Nagur diperintah secara turun-temurun oleh raja marga Damanik. Semua raja yang pernah memerintah kerajaan ini dijuluki sebagai Raja Nagur. Kerajaan ini bermula sekitar abad ke-14, atau bersamaan waktunya dengan masuknya bangsa Eropah ke Nusantara, dan berakhir sekitar tahun 1770 oleh serangan dari kerajaan Raya yang kala itu diperintah oleh Raja Martuah.Nama "Nagur" ini sekarang diabadikan sebagai nama-nama jalan di beberapa tempat di kabupaten Simalungun. Salah-satunya di kelurahan Sondiraya, kecamatan Raya. Seperti halnya kerajaan Batangiou, pusat pemerintahan kerajaan ini juga belum diketahui secara pasti. Pdt. J. Wismar Saragih Sumbayak menginventaris dua pendapat yang berbeda, yakni (1)"dekat Tigarunggu" dan (2)"dekat Nagaraja" dengan alasan di sekitar Nagaraja banyak perkampungan yang mengandung nama Nagur, seperti Nagur Bayu, Nagur Usang, Mariah Nagur dan Nagur Raja (sekarang Nagaraja). Pendapat yang lain lagi (Somen Purba, B.A.) mengatakan kerajaan Nagur berdiri di Dolok Silou. Sementara Taralamsyah Saragih Garingging dalam bukunya berjudul "SARAGIH GARINGGING" dengan tegas menyebutkan "Rumah Bolon Nagur" (dapat diartikan sebagai "Istana Nagur") di Nagurusang. Pada masa jayanya kerajaan Nagur memiliki wilayah yang sangat luas, lebih luas dari kabupaten Simalungun sekarang. Wilayahnya membentang dari tepi timur Danau Toba sampai ke daerah pesisir pantai timur wilayah Sumatera Utara sekarang dan dari Hinalang di utara sampai ke ... di wilayah kabupaten Asahan sekarang. Jadi, wilayah kabupaten Deli Serdang sekarang, pada awalnya juga masih dalam kekuasaan Raja Nagur sebelum didirikannya kerajaan Deli (1508) oleh marga Munthe yang akhirnya direbut oleh pendatang Maya-maya (sebutan orang Simalungun untuk suku bangsa Melayu). Dengan berdirinya kerajaan Deli, serta ditaklukkannya penguasa-penguasa daerah pesisir pantai (dan dijadikan kerajaan-kerajaan kecil yang tunduk kepada pemerintah Aceh) pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, wilayah Nagur semakin sempit. Pada saat itulah muncul panglima tangguh di kerajaan Nagur, yakni Tuan Raya Simbolon, leluhur Raja Raya).
Kerajaan Raya
Berbicara tentang sejarah kerajaan Raya, tidak bisa lepas dari masa-masa akhir kerajaan Nagur, Raja Raya yang pertama memulai karirnya sebagai "Puanglima" (Indonesia: Panglima) dari Raja Nagur. Namun maaf, anda belum bisa mendapatkan informasi lebih jauh tentang kerajaan Raya disini karena halaman ini masih dalam proses pembangunan.
Kerajaan Tanoh Jawa
Kerajaan Purba
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini