Asal-usul Suku Bangsa dan Bahasa Simalungun
Membaca tulisan Sdr Ir Gunawan Napitupulu di harian SIB (meski minus
dukungan referensi dan data-data literatur ilmiah) sebagai putera Simalungun
asli, saya teringat akan percakapan-percakapan formal maupun informal di
masyarakat kita, di mana saudara-saudara etnis Batak Toba sepertinya tidak
mampu dan tidak rela menerima dan mengakui "otherness" antara suku bangsa
Simalungun dan Batak Toba. Dan supaya Sdr Ir Gunawan Napitupulu ketahui,
oleh karena inilah sehingga Pdt. J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam
wadah Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928 mengadakan
perlawanan kultural dan intelektual terhadap pandangan dan kebijakan RMG
dengan agency penginjil yang didominasi kaum Kristen Batak Toba yang
dirasakan sangat meminggirkan dan merendahkan orang Simalungun yang
pandangannya sama persis dengan pandangan Sdr Ir Gunawan Napitupulu. Untuk
yang satu ini saya anjurkan agar Sdr membaca disertasi Pak Pdt. Dr. J. R.
Hutauruk yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan BPK Gunung Mulia yang
berjudul Kemandirian Gereja juga buku sejarah GKPS yang saya tulis bersama
Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga yang berjudul Tole den Timorlanden das
Evangelium (Jakarta, 2003). Di kedua buku yang sarat dengan data-data ilmiah
itu, dibentangkan bagaimana RMG plus agency Kristen Batak Toba tetap tidak
mampu mengakui "otherness"nya etnis Simalungun dari Batak Toba.
B. Otherness-nya Suku bangsa Simalungun dengan Batak Toba
Setelah membaca dan mendiskusikannya dengan pemuka-pemuka adat/budaya
Simalungun seperti Bapak Kadim Morgan Damanik (mantan Ketua Umum Partuha
Maujana Simalungun Perwakilan Kabupaten Simalungun) dan Bapak Djaiman
Saragih (Ketua Umum Madjelis Kebudajaan Simalungun Indonesia) dan membaca
uraian Bapak Tuan Djariaman Damanik. SH dalam surat-suratnya kepada penulis
dan membaca literatur asing dalam bahasa Belanda, Inggris, saya akan
menanggapi point-point saya yang Sdr bantah itu sebagai berikut :
1.
Menurut Sdr Napitupulu, Etnis Simalungun bukan berasal dari India Selatan
karena tidak mempunyai dasar sejarah yang sah. Perlu Sdr ketahui dari
data-data dan penelitian yang dilakukan Bapak Djariaman Damanik, SH (mantan
Kajati Sumut dan Bali) semuanya mengarah ke India Selatan tepatnya di
Nagore. Ini apalagi dikaitkan dengan adat kebiasan, karakter dan anatomi
tubuh keturunan raja-raja di Simalungun yang berbeda dengan orang Batak Toba
yang kemudian mengaku menjadi orang Simalungun (seperti marga Saragih
Simbolon, Sijabat, Manihuruk, Damanik Malau, Gurning, Ambarita).
Penulis-penulis Belanda juga tidak menafikan kalau ada keturunan raja-raja
Simalungun yang berasal dari India Selatan. Dan satu lagi apabila Sdr
membaca disertasi Bapak Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Konflik dan Status
Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta, 2002), beliau dari hasil
penelitiannya mengatakan bahwa nenek moyang orang Batak besar kemungkinannya
berasal dari keturunan suku bangsa Munda dan Nagpur di India Selatan, dan
menilik adanya Kerajaan Nagur (di India ada kota "Nagpur") di Simalungun
yang jelas merupakan kerajaan Hindu pertama di Sumatera Timur, makin
menguatkan pandangan beliau. Prof Payung Bangun berpendapat adanya konsep
raja (monarch) di Simalungun yang berpola "tuan-hamba" berasal dari budaya
India (Hindu) yang mengenal "raj" sebagai perwakilan dewa di bumi yang
menjamin keselarasan hubungan antara dewa-dewa dengan manusia. Di Simalungun
konsep "raj" ini jelas kelihatan pada saat sebelum masuknya zanding dan
agama Islam, di mana raja-raja itu digelari dengan "tuhanta" artinya pemilik
kita. RW Liddle malah meyimpulkan, raja-raja Simalungun itu dilihat sebagai
representasi ilahi di bumi yang dianggap memiliki kekuatan adikodrati.
Sampai saat ini, konsep pengormatan itu masih ada sisa-sisanya di masyarakat
Simalungun, yaitu pandangan orang Simalungun terhadap tondong (Toba:
hula-hula), tondong dianggap sebagai pemberi berkat (tuah) yang wajib
dihormati seperti nyata dalam kalimat, "Tondong pangalopan podah, sanina
pangalopan riah, boru pangalopan gogoh". Dalam upacara-upacara adat
Simalungun asli, tondong ini selalu berada di depan disambut oleh borunya
dengan tarian yang khusyuk dan takzim sampai menyentuh tanah dengan sikap
menyembah ke arah tondong dengan iringan gual Rambing-rambing Ramos sambil
membawa persembahan kepada tondong tanda penghormatan yang berupa uang yang
ditaruh dalam piring putih bertutup bulung tinapak dengan demban yang
terdiri dari dua buah, satu untuk bapa dan satu lagi untuk inang. Dalam
upacara kematian orangtua yang sudah "sayur matua" semua kaum laki-laki
mengikatkan gotong porsa di kepalanya masing-masing yang bermakna,
"keikhlasan keluarga dan orang yang hadir untuk memberangkatakan almarhum."
Di Sumatera Utara ini hanya pada suku Simalungun yang mempunyai adat seperti
itu. Adat ini jelas dari India (Hinduisme), karena sampai sekarang orang
Bali Hindu juga masih memakai porsa kalau bersembahyang di pura. Ada memang
beberapa kebiasaan dari Siam yang terbawa ke Simalungun seperti "manurduk
dayok na binatur" yang sekarang masih ditemukan di Laos. Ini dibawa oleh
sebagian nenek moyang suku Simalungun yang berasal dari sana. Jelasnya, suku
Simalungun berketurunan dari beragam nenek moyang, bukan dari satu
keturunan, yang semuanya ada yang berasal dari India Selatan dan dari Siam.
Ada yang masuk dari pantai timur, dan juga dari pantai barat melalui Aceh
(menyusuri sungai Simpang Kanan di Singkel terus ke Pakpak, Tanah Karo dan
akhirnya masuk ke Simalungun). Groeneveldt menulis dari tulisan Ying Yai
Shenglan pusat kerajaan Nagur pernah berada di Pidie sekitar abad XIV.
Batrlett (1952:633) menulis sebagaimana dikutip Arlin Dietrich (2003:13)
bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berkedudukan di pesisir
pantai timur dan akibat desakan dari populasi orang Melayu dari Semenanjung
Melayu yang mendirikan kesultanan Melayu berpindah ke pedalaman sampai
mencapai pantai Danau Toba. Dan sampai sekarang pun penduduk Melayu di
Serdang dan Deli masih ada yang mengakui kalau nenek moyangnya berketurunan
dari suku Simalungun. Itulah sebabnya keempat marga itu bisa saling
mengawini karena berbeda nenek moyang. Dan di Simalungun adat yang melarang
kawin semarga itu masih ketat sekali dipegang. Orang yang kawin semarga itu
dihukum oleh huta karena dianggap mardawan begu. Oleh karena itu, dari jalan
sejarahnya Simalungun, penduduk yang menjadi etnis Simalungun sekarang ini
secara garis besarnya terdiri dari dua keturunan nenek moyang, yakni Proto
Simalungun (Simalungun Tua) yang merupakan keturunan raja-raja Simalungun
yang berasal dari India Selatan dan Siam yang menurunkan marga-marga raja di
Simalungun yakni : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang pada awalnya
tanpa lineage (cabang marga/sub sib) dan keturunan kedua Deutero Simalungun
(Simalungun Muda) yang secara umum berketurunan dari Samosir dan Toba yang
zaman dahulu sewaktu raja-raja masih ada, menyesuaikan marganya dengan marga
raja-raja yang sepengetahuan mereka di Toba Samosir ada kaitannya agar
menjadi rakyat Simalungun (paruma ni harajaan Simalungun). Mereka ini
memakai adat, bahasa dan budaya Simalungun dan bahkan ada di antaranya yang
diangkat menjadi yang dipertuan (parbapaan) di Simalungun seperti Tigaras
oleh marga Saragih Turnip dan Silampuyang oleh marga Saragih Sidauruk.
Sekarang ini pun di Bosar Maligas dan Tanah Jawa masih ada yang berketurunan
dari marga Butara-butar, Sitorus dan Sirait yang mengaku dirinya suku
Simalungun karena mereka sudah beberapa generasi tinggal di Simalungun dan
memakai bahasa, adat dan budaya Simalungun dalam kesehariannya. Nenek moyang
mereka dahulu sudah berjanji dengan sumpah (marbulawan) di hadapan raja
Tanoh Jawa bermarga Sinaga untuk menjadi paruma ni Harajaan Tanoh Djawa.
Sedangkan marga Silalahi, Sitopu dan Sipayung pada zaman raja-raja memasuki
marga Sinaga. Persoalan kependudukan ini masih berlangsung terus sampai
zaman Belanda, di mana pada tahun 1930 pendatang dari Tapanuli menuntut agar
pada mereka diangkat pemimpin sendiri (hoofd der Tobanezen), karena
pendatang dari Tapanuli ini tidak bersedia di bawah kekuasaan raja-raja
Simalungun. Tetapi ini tidak lama, karena raja-raja Simalungun merasa
dilecehkan, sehingga mereka mengadukan persoalannya kepada pemerintah tinggi
di Batavia. Dan akhirnya kedudukan mereka dikembalikan, seluruh pendatang
wajib menaati hukum pemerintahan kerajaan. Barulah setelah raja-raja itu
dibantai dalam aksi revolusi sosial 3 Maret 1946, ada kebebasan penuh kepada
para pendatang dan foedalisme pun hapus di Simalungun.
2.
Mengenai posisi dan pengertian raja di Toba dan Simalungun sebenarnya sangat
jauh perbedaanya. Mengenai hal ini, saya anjurkan agar Sdr Napitupulu
membaca kertas kerja dari Pdt. Dr. S.M. Siahaan yang berjudul, "Peranan dan
Kedudukan Raja dalam Struktur Suku dan Masyarakat Batak Toba" dalam Buletin
STT HKBP Vocatio Dei VIII (April-Juni 1984) hal. 25-36. Saya kutip saja
sebagian, ".....disimpulkan oleh AB Sinaga bahwa pengertian "raja" dalam
masyarakat Batak Toba berbeda jauh dengan segala ide yang mengelilingi kata
ini dalam bahasa Indonesia. Dijelaskannya perbedaan pengertian ini dengan
pemakaian ungkapan : "raja disi, raja dison, samasama raja". Dengan
demikian, pengertian raja berarti bukan hamba atau "ndang hatoban." Sebagai
akibat dari sistim perkampungan yang tertutup, maka setiap kampung tidak
tergantung kepada seorang raja yang administratif dan feodal" (hal 26). Akan
halnya Raja Sisingamangaraja dalam kajian para sejarawan seperti diungkapkan
Castles dalam disertasinya, "...hanyalah sekedar pendeta tertinggi dalam
moitie kelompok Sumba yang mencakup marga Ompu Pulobatu, yaitu marga
Sinambela" marga dinasti Sisingamangaraja bukan seorang raja sebagaimana
pengertian ketetanegaraan modern. Karena itulah dalam disertasi Dr. Lance
Castles yang sudah diterjemahkan bejudul Tapanuli (2001:13) ia jelas
menerangkan, "Sebelum masa kolonial masyarakat Batak Toba hampir tidak
mengenal negara (stateless). Penduduk kampung tinggal di kampung-kampung
yang disebut huta. Dan untuk kelancaran administrasi pemerintahan di
Tapanuli, Belanda kemudian mengangkat kepala-kepala kampung menjadi pemimpin
dengan pangkat "radja ihoetan" dan "kapala nagari", sedangkan di Mandailing
dengan "kapala kuria. Akan halnya di Simalungun, berbeda jauh dengan
masyarakat Tapanuli. Dalam disertasi Wolfgang Clauss, Economic and Social
Change among the Simalungun Batak of North Sumatra (1982:48), beliau
menjelaskan: "Of all Batak people, only the Simalungun had developed
political structure that resembled a form of state. Before the coming of the
Dutch, several small kingdoms headed by radjas exixted in Simalungun, but
these lacked both clearly defined territorial boundaries and internal
coherence. .....the radja's direct rule was limited to his capital
(pematang) and neighboring villages." Dalam sejarah Simalungun kerajaan
tertua di Sumatera Timur adalah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (sekitar abad
V) yang kemudian disebut Nagur yang bertentangga dengan Haru (cikal bakal
Kesultanan Deli) dan Gasip (cikal bakal Kesultanan Siak). Nagur dengan
dinasti Damanik kemudian pecah menjadi Raja Maroppat sekitar abad XIV
(Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar). Setelah ditekennya Korte Verklaring
oleh raja-raja Simalungun, partuanan banggal Purba, Raya dan Silimahuta yang
semula daerah vassal dari Panei dan Silou diangkat statusnya menjadi
kerajaan. Sehingga sampai revolusi sosial tahun 1946 ada tujuh kerajaan di
Simalungun. Masing masing mempunyai pola pemerintahan yang sama yang disebut
Sioppat Suhu dengan harajaan sebagai kabinetnya dan sub ordinat partuanan
dan parbapaan sampai kepada pangulu dengan masing-masing gamot (pejabat
pemerintah) yang dikendalikan dari pusat pemerintahan yang disebut
"pamatang" (bukan pematang). Menurut J.R. Hutauruk, satu-satunya hanya ada
di Simalungun.
3.
Bahasa Simalungun. Sdr Napitupulu menyimpulkan, sebenarnya tidak ada
perbedaan yang mencolok sekali antara bahasa Simalungun dengan bahasa Batak
Toba dan tidak ada kedekatan antara bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta. Apa yang saudara ketahui itu adalah pengetahuan orang awam,
mereka yang tidak paham dan kenal betul sejarah, struktur, grammatikal
bahasa dan jiwa serta vokabulari bahasa Simalungun asli (karena dari daftar
kata yang saudara tulis itu ada banyak kata yang bukan termasuk bahasa
Simalungun asli dalam hal ini bahasa ibu saya bahasa Simalungun Sin Raya
bahasa asli Simalungun). Dan untuk itu ada baiknya saudara membaca karya
pakar bahasa dan aksara Batak Dr Uli Kozok yang berjudul, Warisan Leluhur:
Sastra Lama dan Aksara Batak (KPG-Jakarta, 1999). Dan disertasi Prof Hendry
Guntur Tarigan, Morfologi Bahasa Simalungun yang berhasil dipertahankannya
di Fakultas Sastra Unibersitas Indonesia Jakarta pada tanggal 5 Juni 1979).
Tetapi untuk lebih jelasnya saya akan merangkumkannya sebagai berikut :
Memang benar, bahwa pada zaman zending, anggapan umum selalu mengkaitkan
etnis Simalungun berasal dari Samosir (Toba) dan bahasanya hanyalah dialek
saja dari bahasa Batak Toba. Itulah sebabnya bahasa dan kebiasaan di
Tapanuli diterapkan di Simalungun oleh para zendeling Jerman yang mahir
dalam adat dan bahasa Batak Toba. Sejak ketibaan Injil di Simalungun, bahasa
Batak Toba-lah yang menjadi bahasa Gereja dan Pendidikan di Simalungun.
August Theis, Guillaume dan Meissel sebagai pionir zending Kristen di
Simalungun bukanlah orang yang paham dan menguasai bahasa Simalungun. Mereka
bersama pembantunya dari penginjil Batak Toba selalu berkomunikasi dalam
bahasa Batak Toba dalam mengabarkan Injil. Dalam sejarah hanya Simon-lah
yang pertama sekali menganjurkan pemakaian bahasa Simalungun dalam
mengabarkan Injil kepada pembantu-pembantunya dari Toba dalam mengabarkan
Injil di Bandar pada tahun 1905. Simon-lah orang Jerman pertama yang sadar
akan perbedaaan yang sangat mencolok antara bahasa Batak Toba dengan
Simalungun. Dan karena "kesalahan" inilah sehingga zending RMG "tidak
sukses" mengkristenkan orang Simalungun. Barulah sejak Pdt. J. Wismar
Saragih (oppung-nya Jan Wiserdo Saragih) menjadi "oposan" bagi zending RMG
dan kaum Kristen Batak Toba dalam memperjuangkan harkat, martabat suku
Simalungun, bahasa dan budaya Simalungun kembali pada tempatnya semula,
menjadi tuan di rumahnya di Tanoh Simalungun. Sebagai seorang Simalungun
yang bertahun-tahun tinggal di Tapanuli, beliau paham benar bahwa ada banyak
kata-kata dalam bahasa Simalungun dan Batak Toba yang sama bunyinya tetapi
berbeda artinya. Tidak saya cantumkan di sini karena akan terlalau panjang.
Kesemuanya ini sudah ia daftarkan (ada 200 buah) dan dipublikasikan di
Sinalsal No. 52/Juli/1935. Dan sejak didirikannya Comite Na Ra Marpodah
1928, pertumbuhan orang Simalungun yang menjadi Kristen berlipat ganda, itu
disebabkan pemakaian adat, budaya dan bahasa Simalungun dalam proses
penginjilan. Pangulu Balei Djaudin Saragih sebagai pejabat pemerintah sampai
mengancam guru-guru Toba yang masih ngotot memakai bahasa Batak Toba akan
mengadukannya ke Kerapatan Bolon Raja-raja Simalungun agar dihukum penjara.
Dan sejak itu makin surutlah pengaruh bahasa Toba di gereja-gereja
Simalungun dan akhirnya hilang sama sekali. Nah itulah sebentuk perlawanan
orang Simalungun tempo doeloe terhadap pandangan inferiornya orang Toba
terhadap orang Simalungun sebagaimana dalam pandangan Sdr Napitupulu.
Baiklah kita kembali pada persoalan semula. Menurut ahli bahasa Dr Uli
Kozok, bahasa Simalungun adalah bahasa tersendiri yang berdiri di antara
bahasa-bahasa Batak (sebab tidak ada bahasa Batak yang tunggal secara
ilmiah). Saya kutip selengkapnya : "Kelima suku Batak memiliki bahasa yang
satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa
membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya
begitu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua
kelompok tersebut. Bahasa Angkola, Mandailing dan Toba membentuk rumpun
selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak Dairi termasuk rumpun utara.
Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di
antara rumpun utara dan rumpun selatan (demikian juga pandangan Dr. P.
Voorhoeve), namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa
Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang
Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk.
Nah untuk lebih jelasnya Sdr Napitupulu agar membaca buku Dr. Uli Kozok
tersebut di hal. 14.
4.
Pengaruh India/Sansekerta melalui Djawa-Hindu dan Pagaruyung pada suku
bangsa Simalungun. Tideman, Tichelman dan Dr. P. Voorhoeve sebagai
sarjana-sarjana Belanda mengakui bahwa suku Simalungun sangat dipengaruhi
oleh India/Hinduisme. Pertama, sistem pemerintahan monarkinya Simalungun
jelas merupakan adaptasi dari budaya India dengan "raj"nya yang
menggolongkan masyarakat Simalungun dalam tiga kelas: partongah (high
class), paruma (middle class) dan jabolon/hatoban (lowest class). Bandingkan
dengan brahmana, vaisja dan sudra di India. Kedua, gual (kesenian asli)
Simalungun yang sangat dekat dengan India, khususnya "inggou sarunei".
Sebagai seorang seniman Simalungun, yang dapat memainkan gonrang dan sarunei
Simalungun, saya merasakan kalau seni musik Simalungun asli ini punya punya
nilai seni yang khas dan daya "magic" tinggi, dan saya lihat ada banyak
persamaan iramanya dengan irama tradisional India dan juga Thailand (saya
pernah bermain musik tradisional dengan rombongan mahasiswa dari Universitas
Thaksin dari Chiang Mai). Ketiga, upacara penabalan dan pemakaman raja-raja
Simalungun tempo doeloe (masih ada microfilimnya di Leiden), sangat dekat
dengan upacara penabalan dan pemakaman di India dan jauh beda dengan Batak
Toba. Upacaranya agung, khidmat dan penuh dengan nilai-nilai kesakralaan dan
dengan protokoler yang rumit serta khas. Untuk ini ada baiknya memang
saudara membaca karya Dr. Harry Parkin, Batak Fruit and Hindu Thought
(Madras, 1978). Keempat, bahasa Simalungun, jelas dipengaruhi bahasa
Sansekerta atau Pallawa (India Selatan), hanya pada etnis Simalungun ada
akiran ei, ou, ah, dan huruf penutup g, d yang oleh Dr. P. Voorhoeve
diterangkannya merupakan bahasa bona-bona dari satu bahasa purba (proto
language), di Karo dan Toba, huruf penutup ini hilang, karena semakin
menjauh dari bahasa induknya. Yang uniknya, seperti diterangkan Dr. P.
Voorhoeve, ada kata yang sama dalam bahasa Simalungun tetapi apabila huruf
penutup dan akhirannya berbeda, maka artinya juga sudah berbeda. Contoh,
"balog" artinya "perbatasan/boundaries", "balok" artinya, "kayu gelondongan"
, "dokdok" artinya, "cabut" seperti dalam sebaris kalimat Pustaha Tuan
Bandar Hanopan tentang cerita Kerajaan Silou, "dokdok ma urat ni padang
silah on, anggo idokdok ho taridah ma jambulan ni panakboru puteri Ijou",
"dokdog" artinya "bulir padi yang kosong/Toba: lapung", "pusog" artinya
"pusar manusia", "pusok" artinya bisa "lang siat be/rapat" dan "berdukacita"
, "parah" artinya "orang yang sakit", "para" artinya "tempat perkakas di
dapur", "rub" artinya "bunyi kayu tumbang", "rup" artinya bersama-sama,
"pak" artinya suara benda jatuh, "pag" artinya "berani". Di Simalungun ada
terdapat bahasa tinggi mirip dengan bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Inggil pada
etnis Jawa. Menurut ahli bahasa Voorhoeve, bahasa ini hanya terdapat pada
suku Simalungun dan sedikit pada suku Karo. Ini disebabkan struktur
masyarakat Simalungun yang berpola "monarki feodalistis", zaman dahulu
seluruh percakapan dengan raja punya pola tersendiri yang rumit jauh beda
dengan bahasa "awam" Simalungun sekarang ini. Untuk berbicara dengan raja,
sipembicara harus menyebut raja "tuhanta", permaisuri (puangbolon) dengan
"lai" atau "lani". Saya kutip sepenggal kalimat dalam Pustaha Parpandanan Na
Bolag, "Ou, amang umbei-umbei, pardja do lai ham?" Marsampang homai ma guru
ondi, "Ou amang pardusun, ulang ihatahon ham au amang umbei-umbei, dong do
lai goranku Guru Langgam Banua Holing, hunjai ni Si Lindung do anggo ahu,
hun tanoh Batang Toru, jayu silopak ulu, dapot do hubahen mardaras mardorus
bulungni torop salih menjadi begu." Di Simalungun dan Karo untuk menyapa
orang yang lebih tua dengan kata "ham/kam", sedangkan untuk di bawah
tingkatan/sederajat dengan kata "ho." Tetapi dibanding Karo, Simalungun
masih punya "kekhususan". "Apabila ada orang tua melemparkan pertanyaan
kepada kita (yang lebih rendah), pamali apabila dijawab dengan "alo" (Toba"
"olo"), karena akan dianggap menghina, karenanya harus dijawab dengan "eak
Atturang" atau "eak dahkam", demikian juga apabila menyebut lebih dari satu
orang harus "nasiam" kepada yang lebih tua dan "hanima" atau "handian"
kepada yang lebih muda/sederajat. Singkatnya, bahasa prokem di Simalungun
itu ada dan rumit, ini tidak ada di Toba. Mengenai keterkaitan Hinduisme
dengan Simalungun saya kutip tulisan Arlin Diertrich (2003:18-19), "istilah
"Jawa" ....mengacu ke Pulau Jawa atau ....berkaitan dengan kata "Jau" dan
dengan demikian mengacu pada "orang asing". Legenda sehubungan dengan
berdirinya Kerajaan Tanoh Djawa ini mengisahkan seorang pangeran dari Djawa
atau "Djawa Silepahipoen" (orang-orang Djawa bergigi putih". Nama yang
terakhir ini mendorong Tideman untuk meyakini bahwa para penguasa Tanoh
Djawa ada kemungkinan berasal dari Tanah Minangkabau atau campuran antara
Jawa-Minangkabau." Selanjutnya dijelaskan Arlin lagi, "...peninggalan budaya
di Simalungun seperti anisan (tiang kubur) dan bangunan suci tertutup yang
zaman dahulu yang berfungsi sebagai kuil pemujaan (dahulu banyak terdapat di
Dolog Sinumbah-Pardagangan, penelitian Martua Radja Siregar) membuktikan
keberadaan unsur pengaruh Djawa Hindu. Unsur pengaruh Djawa-Hindu juga
dijumpai dalam konsep pemerintahan raja dan istana yang jauh lebih
berkembang di wilayah Simalungun dibandingkan dengan suku-suku Batak
lainnya. Makanya tidak mengherankan apabila Arlin menulis, "...seorang rekan
warga India yang kebetulan berkunjung ke Sumatera Utara melontarkan
pendapatnya bagaimana ia merasa seperti berada di kampung halamannya
sendiri, karena banyaknya, "hal-hal yang berbau India" yang ia jumpai di
daerah ini. Sebagai penutup, saya kutip tulisan Edwin M. Loeb dalam bukunya,
Sumatra: Its History and People (1990:20), "The Bataks were influenced to a
considerable extent by Hindu civilization. Direct Hindu influence is said by
the natives themselves to have come from the east (Timur/Simalungun). The
more important Hindu traits imported into the Batak country were wet rice
culture, the horse ("batak"=penunggang kuda), the plow, the peculiar style
of dwelling, chess, cotton and the spinning wheel, Hindu vocabulary, system
of writing (dari aksara Pallawa-India Selatan) and religious ideas. Tulisnya
lagi, "Of more practical importance was the influence exerted by the Hindus
among the Timur (Simalungun) and Karo Bataks toward state formation. The
Timur (Simalungun) district ruled by radjas and their families are the only
large territorial units" (hal. 38).
C. Kesimpulan :
++
Menilik perjalanan sejarah suku bangsa Simalungun, nenek moyang suku bangsa
Simalungun asli yang menurunkan marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba
(Sansekerta: "Naga", "Ragih", "Manik" dan "Purba") jelas tidak benar berasal
dari Toba Samosir melainkan dari keturunan sekelompok pengembara dari India
Selatan (Nagore) yang mendirikan Kerajaan Nagur dinasti Damanik Nagur
(500-1295) dan Siam (yang leluhurnya mendirikan Kerajaan Panei, Silou, Tanoh
Djawa dan Siantar) yang masuk ke Simalungun via Aceh dan pantai Sumatera
Timur. Pada abad ke-15 secara bertahap (bnd. teori sungsang) terjadi
perpindahan antara masyarakat Simalungun ke Samosir (legenda sappar) dan
menurunkan marga Sinaga, Manik, Purba dan Saragi (menurut sebutan orang
Samosir) atau sebaliknya bermigrasi ke Simalungun dan memasuki marga
raja-raja tersebut agar dapat memperoleh tanah di Simalungun. Jelasnya, di
Simalungun ada dua keturunan nenek moyang, yaitu : Simalungun Tua (Proto
Simalungun) dan Simalungun Muda (Deutro Simalungun).
++
Bahasa dan aksara Simalungun berawal dari bahasa tua (Sansekerta/Pallawa) di
India Selatan yang bercampur dengan bahasa Melayu Tua. Sedangkan, aksara
Simalungun (surat sapuluhsiah) berasal dari aksara Pallawa yang menurut
penelitian Dr Uli Kozok bermula di Padang Lawas (Mandailing) dari sana ke
Simalungun kemudian ke Toba dan Dairi dan berakhir di Karo.
++
Kebudayaan dan adat istiadat Simalungun asli banyak merupakan duplikasi
adat dan budaya di India Selatan dan Siam yang pada abad ke XIII dan XIV
akibat invasi Singosari dan Madjapahit budaya Jawa-Hindu turut menanamkan
pangaruhnya. Pengaruh Melayu Islam dan Aceh masuk kemudian mulai abad XV dan
XVIII dan budaya Eropa melalui zending RMG masuk pada permulaan abad XX.
++
Mengingat banyaknya unsur budaya dan keturunan yang masuk ke Simalungun,
sehingga etnis Simalungun tercatat merupakan etnis yang terbuka dengan
pendatang (sehingga etnis Simalungun hanya + 20 % saja dari penduduk
Kabupaten Simalungun sekarang dan toleransinya tinggi, sepanjang kepentingan
dan harkat martabatnya tidak diutak-atik. Sebab suku Simalungun hidup dalam
Habonaron do Bona yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
D. Penutup
Demikianlah tanggapan saya atas bantahan Sdr Gunawan Napitupulu
seorang etnis Batak Toba; yang menurut saya cukup "berani" menjelaskan
eksistensi suku bangsa Simalungun. Koentjaraningrat begawan antropolog itu
menulis, "yang dapat menjelaskan persis ekesistensi suatu suku bangsa adalah
suku bangsa itu sendiri, bukan orang lain."
Salam Habonaron do Bona. Penulis adalah pendeta GKPS dan Pengurus Presidium
Partuha Maujana Simalungun di Seksi Sejarah, tinggal di tepian Danau Toba ?
Tongging Taneh Karo Simalem).
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini
Membaca tulisan Sdr Ir Gunawan Napitupulu di harian SIB (meski minus
dukungan referensi dan data-data literatur ilmiah) sebagai putera Simalungun
asli, saya teringat akan percakapan-percakapan formal maupun informal di
masyarakat kita, di mana saudara-saudara etnis Batak Toba sepertinya tidak
mampu dan tidak rela menerima dan mengakui "otherness" antara suku bangsa
Simalungun dan Batak Toba. Dan supaya Sdr Ir Gunawan Napitupulu ketahui,
oleh karena inilah sehingga Pdt. J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam
wadah Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928 mengadakan
perlawanan kultural dan intelektual terhadap pandangan dan kebijakan RMG
dengan agency penginjil yang didominasi kaum Kristen Batak Toba yang
dirasakan sangat meminggirkan dan merendahkan orang Simalungun yang
pandangannya sama persis dengan pandangan Sdr Ir Gunawan Napitupulu. Untuk
yang satu ini saya anjurkan agar Sdr membaca disertasi Pak Pdt. Dr. J. R.
Hutauruk yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan BPK Gunung Mulia yang
berjudul Kemandirian Gereja juga buku sejarah GKPS yang saya tulis bersama
Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga yang berjudul Tole den Timorlanden das
Evangelium (Jakarta, 2003). Di kedua buku yang sarat dengan data-data ilmiah
itu, dibentangkan bagaimana RMG plus agency Kristen Batak Toba tetap tidak
mampu mengakui "otherness"nya etnis Simalungun dari Batak Toba.
B. Otherness-nya Suku bangsa Simalungun dengan Batak Toba
Setelah membaca dan mendiskusikannya dengan pemuka-pemuka adat/budaya
Simalungun seperti Bapak Kadim Morgan Damanik (mantan Ketua Umum Partuha
Maujana Simalungun Perwakilan Kabupaten Simalungun) dan Bapak Djaiman
Saragih (Ketua Umum Madjelis Kebudajaan Simalungun Indonesia) dan membaca
uraian Bapak Tuan Djariaman Damanik. SH dalam surat-suratnya kepada penulis
dan membaca literatur asing dalam bahasa Belanda, Inggris, saya akan
menanggapi point-point saya yang Sdr bantah itu sebagai berikut :
1.
Menurut Sdr Napitupulu, Etnis Simalungun bukan berasal dari India Selatan
karena tidak mempunyai dasar sejarah yang sah. Perlu Sdr ketahui dari
data-data dan penelitian yang dilakukan Bapak Djariaman Damanik, SH (mantan
Kajati Sumut dan Bali) semuanya mengarah ke India Selatan tepatnya di
Nagore. Ini apalagi dikaitkan dengan adat kebiasan, karakter dan anatomi
tubuh keturunan raja-raja di Simalungun yang berbeda dengan orang Batak Toba
yang kemudian mengaku menjadi orang Simalungun (seperti marga Saragih
Simbolon, Sijabat, Manihuruk, Damanik Malau, Gurning, Ambarita).
Penulis-penulis Belanda juga tidak menafikan kalau ada keturunan raja-raja
Simalungun yang berasal dari India Selatan. Dan satu lagi apabila Sdr
membaca disertasi Bapak Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Konflik dan Status
Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta, 2002), beliau dari hasil
penelitiannya mengatakan bahwa nenek moyang orang Batak besar kemungkinannya
berasal dari keturunan suku bangsa Munda dan Nagpur di India Selatan, dan
menilik adanya Kerajaan Nagur (di India ada kota "Nagpur") di Simalungun
yang jelas merupakan kerajaan Hindu pertama di Sumatera Timur, makin
menguatkan pandangan beliau. Prof Payung Bangun berpendapat adanya konsep
raja (monarch) di Simalungun yang berpola "tuan-hamba" berasal dari budaya
India (Hindu) yang mengenal "raj" sebagai perwakilan dewa di bumi yang
menjamin keselarasan hubungan antara dewa-dewa dengan manusia. Di Simalungun
konsep "raj" ini jelas kelihatan pada saat sebelum masuknya zanding dan
agama Islam, di mana raja-raja itu digelari dengan "tuhanta" artinya pemilik
kita. RW Liddle malah meyimpulkan, raja-raja Simalungun itu dilihat sebagai
representasi ilahi di bumi yang dianggap memiliki kekuatan adikodrati.
Sampai saat ini, konsep pengormatan itu masih ada sisa-sisanya di masyarakat
Simalungun, yaitu pandangan orang Simalungun terhadap tondong (Toba:
hula-hula), tondong dianggap sebagai pemberi berkat (tuah) yang wajib
dihormati seperti nyata dalam kalimat, "Tondong pangalopan podah, sanina
pangalopan riah, boru pangalopan gogoh". Dalam upacara-upacara adat
Simalungun asli, tondong ini selalu berada di depan disambut oleh borunya
dengan tarian yang khusyuk dan takzim sampai menyentuh tanah dengan sikap
menyembah ke arah tondong dengan iringan gual Rambing-rambing Ramos sambil
membawa persembahan kepada tondong tanda penghormatan yang berupa uang yang
ditaruh dalam piring putih bertutup bulung tinapak dengan demban yang
terdiri dari dua buah, satu untuk bapa dan satu lagi untuk inang. Dalam
upacara kematian orangtua yang sudah "sayur matua" semua kaum laki-laki
mengikatkan gotong porsa di kepalanya masing-masing yang bermakna,
"keikhlasan keluarga dan orang yang hadir untuk memberangkatakan almarhum."
Di Sumatera Utara ini hanya pada suku Simalungun yang mempunyai adat seperti
itu. Adat ini jelas dari India (Hinduisme), karena sampai sekarang orang
Bali Hindu juga masih memakai porsa kalau bersembahyang di pura. Ada memang
beberapa kebiasaan dari Siam yang terbawa ke Simalungun seperti "manurduk
dayok na binatur" yang sekarang masih ditemukan di Laos. Ini dibawa oleh
sebagian nenek moyang suku Simalungun yang berasal dari sana. Jelasnya, suku
Simalungun berketurunan dari beragam nenek moyang, bukan dari satu
keturunan, yang semuanya ada yang berasal dari India Selatan dan dari Siam.
Ada yang masuk dari pantai timur, dan juga dari pantai barat melalui Aceh
(menyusuri sungai Simpang Kanan di Singkel terus ke Pakpak, Tanah Karo dan
akhirnya masuk ke Simalungun). Groeneveldt menulis dari tulisan Ying Yai
Shenglan pusat kerajaan Nagur pernah berada di Pidie sekitar abad XIV.
Batrlett (1952:633) menulis sebagaimana dikutip Arlin Dietrich (2003:13)
bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berkedudukan di pesisir
pantai timur dan akibat desakan dari populasi orang Melayu dari Semenanjung
Melayu yang mendirikan kesultanan Melayu berpindah ke pedalaman sampai
mencapai pantai Danau Toba. Dan sampai sekarang pun penduduk Melayu di
Serdang dan Deli masih ada yang mengakui kalau nenek moyangnya berketurunan
dari suku Simalungun. Itulah sebabnya keempat marga itu bisa saling
mengawini karena berbeda nenek moyang. Dan di Simalungun adat yang melarang
kawin semarga itu masih ketat sekali dipegang. Orang yang kawin semarga itu
dihukum oleh huta karena dianggap mardawan begu. Oleh karena itu, dari jalan
sejarahnya Simalungun, penduduk yang menjadi etnis Simalungun sekarang ini
secara garis besarnya terdiri dari dua keturunan nenek moyang, yakni Proto
Simalungun (Simalungun Tua) yang merupakan keturunan raja-raja Simalungun
yang berasal dari India Selatan dan Siam yang menurunkan marga-marga raja di
Simalungun yakni : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang pada awalnya
tanpa lineage (cabang marga/sub sib) dan keturunan kedua Deutero Simalungun
(Simalungun Muda) yang secara umum berketurunan dari Samosir dan Toba yang
zaman dahulu sewaktu raja-raja masih ada, menyesuaikan marganya dengan marga
raja-raja yang sepengetahuan mereka di Toba Samosir ada kaitannya agar
menjadi rakyat Simalungun (paruma ni harajaan Simalungun). Mereka ini
memakai adat, bahasa dan budaya Simalungun dan bahkan ada di antaranya yang
diangkat menjadi yang dipertuan (parbapaan) di Simalungun seperti Tigaras
oleh marga Saragih Turnip dan Silampuyang oleh marga Saragih Sidauruk.
Sekarang ini pun di Bosar Maligas dan Tanah Jawa masih ada yang berketurunan
dari marga Butara-butar, Sitorus dan Sirait yang mengaku dirinya suku
Simalungun karena mereka sudah beberapa generasi tinggal di Simalungun dan
memakai bahasa, adat dan budaya Simalungun dalam kesehariannya. Nenek moyang
mereka dahulu sudah berjanji dengan sumpah (marbulawan) di hadapan raja
Tanoh Jawa bermarga Sinaga untuk menjadi paruma ni Harajaan Tanoh Djawa.
Sedangkan marga Silalahi, Sitopu dan Sipayung pada zaman raja-raja memasuki
marga Sinaga. Persoalan kependudukan ini masih berlangsung terus sampai
zaman Belanda, di mana pada tahun 1930 pendatang dari Tapanuli menuntut agar
pada mereka diangkat pemimpin sendiri (hoofd der Tobanezen), karena
pendatang dari Tapanuli ini tidak bersedia di bawah kekuasaan raja-raja
Simalungun. Tetapi ini tidak lama, karena raja-raja Simalungun merasa
dilecehkan, sehingga mereka mengadukan persoalannya kepada pemerintah tinggi
di Batavia. Dan akhirnya kedudukan mereka dikembalikan, seluruh pendatang
wajib menaati hukum pemerintahan kerajaan. Barulah setelah raja-raja itu
dibantai dalam aksi revolusi sosial 3 Maret 1946, ada kebebasan penuh kepada
para pendatang dan foedalisme pun hapus di Simalungun.
2.
Mengenai posisi dan pengertian raja di Toba dan Simalungun sebenarnya sangat
jauh perbedaanya. Mengenai hal ini, saya anjurkan agar Sdr Napitupulu
membaca kertas kerja dari Pdt. Dr. S.M. Siahaan yang berjudul, "Peranan dan
Kedudukan Raja dalam Struktur Suku dan Masyarakat Batak Toba" dalam Buletin
STT HKBP Vocatio Dei VIII (April-Juni 1984) hal. 25-36. Saya kutip saja
sebagian, ".....disimpulkan oleh AB Sinaga bahwa pengertian "raja" dalam
masyarakat Batak Toba berbeda jauh dengan segala ide yang mengelilingi kata
ini dalam bahasa Indonesia. Dijelaskannya perbedaan pengertian ini dengan
pemakaian ungkapan : "raja disi, raja dison, samasama raja". Dengan
demikian, pengertian raja berarti bukan hamba atau "ndang hatoban." Sebagai
akibat dari sistim perkampungan yang tertutup, maka setiap kampung tidak
tergantung kepada seorang raja yang administratif dan feodal" (hal 26). Akan
halnya Raja Sisingamangaraja dalam kajian para sejarawan seperti diungkapkan
Castles dalam disertasinya, "...hanyalah sekedar pendeta tertinggi dalam
moitie kelompok Sumba yang mencakup marga Ompu Pulobatu, yaitu marga
Sinambela" marga dinasti Sisingamangaraja bukan seorang raja sebagaimana
pengertian ketetanegaraan modern. Karena itulah dalam disertasi Dr. Lance
Castles yang sudah diterjemahkan bejudul Tapanuli (2001:13) ia jelas
menerangkan, "Sebelum masa kolonial masyarakat Batak Toba hampir tidak
mengenal negara (stateless). Penduduk kampung tinggal di kampung-kampung
yang disebut huta. Dan untuk kelancaran administrasi pemerintahan di
Tapanuli, Belanda kemudian mengangkat kepala-kepala kampung menjadi pemimpin
dengan pangkat "radja ihoetan" dan "kapala nagari", sedangkan di Mandailing
dengan "kapala kuria. Akan halnya di Simalungun, berbeda jauh dengan
masyarakat Tapanuli. Dalam disertasi Wolfgang Clauss, Economic and Social
Change among the Simalungun Batak of North Sumatra (1982:48), beliau
menjelaskan: "Of all Batak people, only the Simalungun had developed
political structure that resembled a form of state. Before the coming of the
Dutch, several small kingdoms headed by radjas exixted in Simalungun, but
these lacked both clearly defined territorial boundaries and internal
coherence. .....the radja's direct rule was limited to his capital
(pematang) and neighboring villages." Dalam sejarah Simalungun kerajaan
tertua di Sumatera Timur adalah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (sekitar abad
V) yang kemudian disebut Nagur yang bertentangga dengan Haru (cikal bakal
Kesultanan Deli) dan Gasip (cikal bakal Kesultanan Siak). Nagur dengan
dinasti Damanik kemudian pecah menjadi Raja Maroppat sekitar abad XIV
(Panei, Silou, Tanoh Djawa dan Siantar). Setelah ditekennya Korte Verklaring
oleh raja-raja Simalungun, partuanan banggal Purba, Raya dan Silimahuta yang
semula daerah vassal dari Panei dan Silou diangkat statusnya menjadi
kerajaan. Sehingga sampai revolusi sosial tahun 1946 ada tujuh kerajaan di
Simalungun. Masing masing mempunyai pola pemerintahan yang sama yang disebut
Sioppat Suhu dengan harajaan sebagai kabinetnya dan sub ordinat partuanan
dan parbapaan sampai kepada pangulu dengan masing-masing gamot (pejabat
pemerintah) yang dikendalikan dari pusat pemerintahan yang disebut
"pamatang" (bukan pematang). Menurut J.R. Hutauruk, satu-satunya hanya ada
di Simalungun.
3.
Bahasa Simalungun. Sdr Napitupulu menyimpulkan, sebenarnya tidak ada
perbedaan yang mencolok sekali antara bahasa Simalungun dengan bahasa Batak
Toba dan tidak ada kedekatan antara bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta. Apa yang saudara ketahui itu adalah pengetahuan orang awam,
mereka yang tidak paham dan kenal betul sejarah, struktur, grammatikal
bahasa dan jiwa serta vokabulari bahasa Simalungun asli (karena dari daftar
kata yang saudara tulis itu ada banyak kata yang bukan termasuk bahasa
Simalungun asli dalam hal ini bahasa ibu saya bahasa Simalungun Sin Raya
bahasa asli Simalungun). Dan untuk itu ada baiknya saudara membaca karya
pakar bahasa dan aksara Batak Dr Uli Kozok yang berjudul, Warisan Leluhur:
Sastra Lama dan Aksara Batak (KPG-Jakarta, 1999). Dan disertasi Prof Hendry
Guntur Tarigan, Morfologi Bahasa Simalungun yang berhasil dipertahankannya
di Fakultas Sastra Unibersitas Indonesia Jakarta pada tanggal 5 Juni 1979).
Tetapi untuk lebih jelasnya saya akan merangkumkannya sebagai berikut :
Memang benar, bahwa pada zaman zending, anggapan umum selalu mengkaitkan
etnis Simalungun berasal dari Samosir (Toba) dan bahasanya hanyalah dialek
saja dari bahasa Batak Toba. Itulah sebabnya bahasa dan kebiasaan di
Tapanuli diterapkan di Simalungun oleh para zendeling Jerman yang mahir
dalam adat dan bahasa Batak Toba. Sejak ketibaan Injil di Simalungun, bahasa
Batak Toba-lah yang menjadi bahasa Gereja dan Pendidikan di Simalungun.
August Theis, Guillaume dan Meissel sebagai pionir zending Kristen di
Simalungun bukanlah orang yang paham dan menguasai bahasa Simalungun. Mereka
bersama pembantunya dari penginjil Batak Toba selalu berkomunikasi dalam
bahasa Batak Toba dalam mengabarkan Injil. Dalam sejarah hanya Simon-lah
yang pertama sekali menganjurkan pemakaian bahasa Simalungun dalam
mengabarkan Injil kepada pembantu-pembantunya dari Toba dalam mengabarkan
Injil di Bandar pada tahun 1905. Simon-lah orang Jerman pertama yang sadar
akan perbedaaan yang sangat mencolok antara bahasa Batak Toba dengan
Simalungun. Dan karena "kesalahan" inilah sehingga zending RMG "tidak
sukses" mengkristenkan orang Simalungun. Barulah sejak Pdt. J. Wismar
Saragih (oppung-nya Jan Wiserdo Saragih) menjadi "oposan" bagi zending RMG
dan kaum Kristen Batak Toba dalam memperjuangkan harkat, martabat suku
Simalungun, bahasa dan budaya Simalungun kembali pada tempatnya semula,
menjadi tuan di rumahnya di Tanoh Simalungun. Sebagai seorang Simalungun
yang bertahun-tahun tinggal di Tapanuli, beliau paham benar bahwa ada banyak
kata-kata dalam bahasa Simalungun dan Batak Toba yang sama bunyinya tetapi
berbeda artinya. Tidak saya cantumkan di sini karena akan terlalau panjang.
Kesemuanya ini sudah ia daftarkan (ada 200 buah) dan dipublikasikan di
Sinalsal No. 52/Juli/1935. Dan sejak didirikannya Comite Na Ra Marpodah
1928, pertumbuhan orang Simalungun yang menjadi Kristen berlipat ganda, itu
disebabkan pemakaian adat, budaya dan bahasa Simalungun dalam proses
penginjilan. Pangulu Balei Djaudin Saragih sebagai pejabat pemerintah sampai
mengancam guru-guru Toba yang masih ngotot memakai bahasa Batak Toba akan
mengadukannya ke Kerapatan Bolon Raja-raja Simalungun agar dihukum penjara.
Dan sejak itu makin surutlah pengaruh bahasa Toba di gereja-gereja
Simalungun dan akhirnya hilang sama sekali. Nah itulah sebentuk perlawanan
orang Simalungun tempo doeloe terhadap pandangan inferiornya orang Toba
terhadap orang Simalungun sebagaimana dalam pandangan Sdr Napitupulu.
Baiklah kita kembali pada persoalan semula. Menurut ahli bahasa Dr Uli
Kozok, bahasa Simalungun adalah bahasa tersendiri yang berdiri di antara
bahasa-bahasa Batak (sebab tidak ada bahasa Batak yang tunggal secara
ilmiah). Saya kutip selengkapnya : "Kelima suku Batak memiliki bahasa yang
satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa
membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya
begitu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua
kelompok tersebut. Bahasa Angkola, Mandailing dan Toba membentuk rumpun
selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak Dairi termasuk rumpun utara.
Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di
antara rumpun utara dan rumpun selatan (demikian juga pandangan Dr. P.
Voorhoeve), namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa
Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang
Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk.
Nah untuk lebih jelasnya Sdr Napitupulu agar membaca buku Dr. Uli Kozok
tersebut di hal. 14.
4.
Pengaruh India/Sansekerta melalui Djawa-Hindu dan Pagaruyung pada suku
bangsa Simalungun. Tideman, Tichelman dan Dr. P. Voorhoeve sebagai
sarjana-sarjana Belanda mengakui bahwa suku Simalungun sangat dipengaruhi
oleh India/Hinduisme. Pertama, sistem pemerintahan monarkinya Simalungun
jelas merupakan adaptasi dari budaya India dengan "raj"nya yang
menggolongkan masyarakat Simalungun dalam tiga kelas: partongah (high
class), paruma (middle class) dan jabolon/hatoban (lowest class). Bandingkan
dengan brahmana, vaisja dan sudra di India. Kedua, gual (kesenian asli)
Simalungun yang sangat dekat dengan India, khususnya "inggou sarunei".
Sebagai seorang seniman Simalungun, yang dapat memainkan gonrang dan sarunei
Simalungun, saya merasakan kalau seni musik Simalungun asli ini punya punya
nilai seni yang khas dan daya "magic" tinggi, dan saya lihat ada banyak
persamaan iramanya dengan irama tradisional India dan juga Thailand (saya
pernah bermain musik tradisional dengan rombongan mahasiswa dari Universitas
Thaksin dari Chiang Mai). Ketiga, upacara penabalan dan pemakaman raja-raja
Simalungun tempo doeloe (masih ada microfilimnya di Leiden), sangat dekat
dengan upacara penabalan dan pemakaman di India dan jauh beda dengan Batak
Toba. Upacaranya agung, khidmat dan penuh dengan nilai-nilai kesakralaan dan
dengan protokoler yang rumit serta khas. Untuk ini ada baiknya memang
saudara membaca karya Dr. Harry Parkin, Batak Fruit and Hindu Thought
(Madras, 1978). Keempat, bahasa Simalungun, jelas dipengaruhi bahasa
Sansekerta atau Pallawa (India Selatan), hanya pada etnis Simalungun ada
akiran ei, ou, ah, dan huruf penutup g, d yang oleh Dr. P. Voorhoeve
diterangkannya merupakan bahasa bona-bona dari satu bahasa purba (proto
language), di Karo dan Toba, huruf penutup ini hilang, karena semakin
menjauh dari bahasa induknya. Yang uniknya, seperti diterangkan Dr. P.
Voorhoeve, ada kata yang sama dalam bahasa Simalungun tetapi apabila huruf
penutup dan akhirannya berbeda, maka artinya juga sudah berbeda. Contoh,
"balog" artinya "perbatasan/boundaries", "balok" artinya, "kayu gelondongan"
, "dokdok" artinya, "cabut" seperti dalam sebaris kalimat Pustaha Tuan
Bandar Hanopan tentang cerita Kerajaan Silou, "dokdok ma urat ni padang
silah on, anggo idokdok ho taridah ma jambulan ni panakboru puteri Ijou",
"dokdog" artinya "bulir padi yang kosong/Toba: lapung", "pusog" artinya
"pusar manusia", "pusok" artinya bisa "lang siat be/rapat" dan "berdukacita"
, "parah" artinya "orang yang sakit", "para" artinya "tempat perkakas di
dapur", "rub" artinya "bunyi kayu tumbang", "rup" artinya bersama-sama,
"pak" artinya suara benda jatuh, "pag" artinya "berani". Di Simalungun ada
terdapat bahasa tinggi mirip dengan bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Inggil pada
etnis Jawa. Menurut ahli bahasa Voorhoeve, bahasa ini hanya terdapat pada
suku Simalungun dan sedikit pada suku Karo. Ini disebabkan struktur
masyarakat Simalungun yang berpola "monarki feodalistis", zaman dahulu
seluruh percakapan dengan raja punya pola tersendiri yang rumit jauh beda
dengan bahasa "awam" Simalungun sekarang ini. Untuk berbicara dengan raja,
sipembicara harus menyebut raja "tuhanta", permaisuri (puangbolon) dengan
"lai" atau "lani". Saya kutip sepenggal kalimat dalam Pustaha Parpandanan Na
Bolag, "Ou, amang umbei-umbei, pardja do lai ham?" Marsampang homai ma guru
ondi, "Ou amang pardusun, ulang ihatahon ham au amang umbei-umbei, dong do
lai goranku Guru Langgam Banua Holing, hunjai ni Si Lindung do anggo ahu,
hun tanoh Batang Toru, jayu silopak ulu, dapot do hubahen mardaras mardorus
bulungni torop salih menjadi begu." Di Simalungun dan Karo untuk menyapa
orang yang lebih tua dengan kata "ham/kam", sedangkan untuk di bawah
tingkatan/sederajat dengan kata "ho." Tetapi dibanding Karo, Simalungun
masih punya "kekhususan". "Apabila ada orang tua melemparkan pertanyaan
kepada kita (yang lebih rendah), pamali apabila dijawab dengan "alo" (Toba"
"olo"), karena akan dianggap menghina, karenanya harus dijawab dengan "eak
Atturang" atau "eak dahkam", demikian juga apabila menyebut lebih dari satu
orang harus "nasiam" kepada yang lebih tua dan "hanima" atau "handian"
kepada yang lebih muda/sederajat. Singkatnya, bahasa prokem di Simalungun
itu ada dan rumit, ini tidak ada di Toba. Mengenai keterkaitan Hinduisme
dengan Simalungun saya kutip tulisan Arlin Diertrich (2003:18-19), "istilah
"Jawa" ....mengacu ke Pulau Jawa atau ....berkaitan dengan kata "Jau" dan
dengan demikian mengacu pada "orang asing". Legenda sehubungan dengan
berdirinya Kerajaan Tanoh Djawa ini mengisahkan seorang pangeran dari Djawa
atau "Djawa Silepahipoen" (orang-orang Djawa bergigi putih". Nama yang
terakhir ini mendorong Tideman untuk meyakini bahwa para penguasa Tanoh
Djawa ada kemungkinan berasal dari Tanah Minangkabau atau campuran antara
Jawa-Minangkabau." Selanjutnya dijelaskan Arlin lagi, "...peninggalan budaya
di Simalungun seperti anisan (tiang kubur) dan bangunan suci tertutup yang
zaman dahulu yang berfungsi sebagai kuil pemujaan (dahulu banyak terdapat di
Dolog Sinumbah-Pardagangan, penelitian Martua Radja Siregar) membuktikan
keberadaan unsur pengaruh Djawa Hindu. Unsur pengaruh Djawa-Hindu juga
dijumpai dalam konsep pemerintahan raja dan istana yang jauh lebih
berkembang di wilayah Simalungun dibandingkan dengan suku-suku Batak
lainnya. Makanya tidak mengherankan apabila Arlin menulis, "...seorang rekan
warga India yang kebetulan berkunjung ke Sumatera Utara melontarkan
pendapatnya bagaimana ia merasa seperti berada di kampung halamannya
sendiri, karena banyaknya, "hal-hal yang berbau India" yang ia jumpai di
daerah ini. Sebagai penutup, saya kutip tulisan Edwin M. Loeb dalam bukunya,
Sumatra: Its History and People (1990:20), "The Bataks were influenced to a
considerable extent by Hindu civilization. Direct Hindu influence is said by
the natives themselves to have come from the east (Timur/Simalungun). The
more important Hindu traits imported into the Batak country were wet rice
culture, the horse ("batak"=penunggang kuda), the plow, the peculiar style
of dwelling, chess, cotton and the spinning wheel, Hindu vocabulary, system
of writing (dari aksara Pallawa-India Selatan) and religious ideas. Tulisnya
lagi, "Of more practical importance was the influence exerted by the Hindus
among the Timur (Simalungun) and Karo Bataks toward state formation. The
Timur (Simalungun) district ruled by radjas and their families are the only
large territorial units" (hal. 38).
C. Kesimpulan :
++
Menilik perjalanan sejarah suku bangsa Simalungun, nenek moyang suku bangsa
Simalungun asli yang menurunkan marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba
(Sansekerta: "Naga", "Ragih", "Manik" dan "Purba") jelas tidak benar berasal
dari Toba Samosir melainkan dari keturunan sekelompok pengembara dari India
Selatan (Nagore) yang mendirikan Kerajaan Nagur dinasti Damanik Nagur
(500-1295) dan Siam (yang leluhurnya mendirikan Kerajaan Panei, Silou, Tanoh
Djawa dan Siantar) yang masuk ke Simalungun via Aceh dan pantai Sumatera
Timur. Pada abad ke-15 secara bertahap (bnd. teori sungsang) terjadi
perpindahan antara masyarakat Simalungun ke Samosir (legenda sappar) dan
menurunkan marga Sinaga, Manik, Purba dan Saragi (menurut sebutan orang
Samosir) atau sebaliknya bermigrasi ke Simalungun dan memasuki marga
raja-raja tersebut agar dapat memperoleh tanah di Simalungun. Jelasnya, di
Simalungun ada dua keturunan nenek moyang, yaitu : Simalungun Tua (Proto
Simalungun) dan Simalungun Muda (Deutro Simalungun).
++
Bahasa dan aksara Simalungun berawal dari bahasa tua (Sansekerta/Pallawa) di
India Selatan yang bercampur dengan bahasa Melayu Tua. Sedangkan, aksara
Simalungun (surat sapuluhsiah) berasal dari aksara Pallawa yang menurut
penelitian Dr Uli Kozok bermula di Padang Lawas (Mandailing) dari sana ke
Simalungun kemudian ke Toba dan Dairi dan berakhir di Karo.
++
Kebudayaan dan adat istiadat Simalungun asli banyak merupakan duplikasi
adat dan budaya di India Selatan dan Siam yang pada abad ke XIII dan XIV
akibat invasi Singosari dan Madjapahit budaya Jawa-Hindu turut menanamkan
pangaruhnya. Pengaruh Melayu Islam dan Aceh masuk kemudian mulai abad XV dan
XVIII dan budaya Eropa melalui zending RMG masuk pada permulaan abad XX.
++
Mengingat banyaknya unsur budaya dan keturunan yang masuk ke Simalungun,
sehingga etnis Simalungun tercatat merupakan etnis yang terbuka dengan
pendatang (sehingga etnis Simalungun hanya + 20 % saja dari penduduk
Kabupaten Simalungun sekarang dan toleransinya tinggi, sepanjang kepentingan
dan harkat martabatnya tidak diutak-atik. Sebab suku Simalungun hidup dalam
Habonaron do Bona yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
D. Penutup
Demikianlah tanggapan saya atas bantahan Sdr Gunawan Napitupulu
seorang etnis Batak Toba; yang menurut saya cukup "berani" menjelaskan
eksistensi suku bangsa Simalungun. Koentjaraningrat begawan antropolog itu
menulis, "yang dapat menjelaskan persis ekesistensi suatu suku bangsa adalah
suku bangsa itu sendiri, bukan orang lain."
Salam Habonaron do Bona. Penulis adalah pendeta GKPS dan Pengurus Presidium
Partuha Maujana Simalungun di Seksi Sejarah, tinggal di tepian Danau Toba ?
Tongging Taneh Karo Simalem).
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini