Slogan Pro Turki dari Amsterdam dan Pengakuan Aceh untuk Kemerdekaan Belanda dari Spanyol
Jakarta – Sebuah slogan kontroversial, "Liever Turks dan Paaps," atau lebih baik menjadi Turki daripada menjadi Paus, muncul di tengah gejolak Revolusi Kemerdekaan Belanda dari Spanyol.
Slogan ini mencerminkan kompleksitas aliansi dan sentimen politik yang mewarnai perjuangan kemerdekaan Belanda pada masanya. Dalam situasi genting tersebut, Belanda mencari bantuan dari berbagai kekuatan yang bersimpati dengan perjuangan mereka, termasuk dari dunia Islam.
Kesultanan Utsmani, yang saat itu merupakan kekuatan besar di kawasan Mediterania, memberikan bantuan signifikan kepada Belanda melalui jalur laut. Armada Utsmani, dengan kekuatan maritimnya yang disegani, turut serta dalam upaya menekan Spanyol dan mendukung perjuangan kemerdekaan Belanda. Bantuan ini menjadi salah satu faktor penting yang memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi tekanan dari Spanyol.
Namun, keterlibatan dunia Islam dalam kemerdekaan Belanda tidak hanya terbatas pada bantuan dari Kesultanan Utsmani. Jauh di ujung timur Nusantara, Kesultanan Aceh Darussalam juga memainkan peran yang tak kalah penting. Bahkan, sejarah mencatat Kesultanan Aceh sebagai negara berdaulat pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Belanda dari Kerajaan Spanyol pada tahun 1602.
Pengakuan kemerdekaan Belanda oleh Kesultanan Aceh ini merupakan langkah yang berani dan strategis. Pada saat itu, Aceh merupakan salah satu kekuatan maritim dan perdagangan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Keputusan Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda menunjukkan visi politik yang jauh ke depan dan pemahaman yang mendalam tentang dinamika kekuatan global.
Sebuah catatan sejarah yang menarik terungkap dalam surat kabar Provinciealse Zeeuwse Courant yang terbit di Middelburg, Belanda, pada tanggal 25 Oktober 1978. Surat kabar tersebut mengisahkan tentang upacara peresmian sebuah monumen yang didirikan di kota Middelburg sebagai penghormatan kepada Duta Kesultanan Aceh Darussalam, Tengku Abdul Hamid.
Tengku Abdul Hamid, seorang utusan penting dari Kesultanan Aceh, meninggal di Belanda pada tanggal 10 Agustus 1602. Kehadirannya di Belanda dan pendirian monumen untuk mengenangnya menjadi bukti nyata hubungan diplomatik yang erat antara Aceh dan Belanda pada masa itu. Monumen ini menjadi simbol pengakuan Belanda atas peran penting Aceh dalam sejarah kemerdekaan mereka.
Keputusan Kesultanan Aceh untuk mengakui kemerdekaan Belanda didasari oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kepentingan strategis dalam menjaga jalur perdagangan maritim di Selat Malaka. Dengan mengakui Belanda sebagai negara yang berdaulat, Aceh berharap dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dalam bidang perdagangan dan politik.
Selain itu, pengakuan ini juga didorong oleh kesamaan pandangan dalam menghadapi kekuatan Spanyol yang saat itu berusaha mendominasi berbagai wilayah di dunia, termasuk Asia Tenggara. Aceh, sebagai kekuatan regional, melihat Belanda sebagai sekutu potensial dalam menghadapi ancaman Spanyol.
Peran Kesultanan Aceh dalam kemerdekaan Belanda seringkali terlupakan dalam narasi sejarah Eropa. Padahal, pengakuan Aceh yang datang lebih awal dari negara-negara Eropa lainnya menunjukkan betapa pentingnya posisi Aceh dalam percaturan politik dunia pada abad ke-17.
Slogan "Liever Turks dan Paaps" dan pengakuan kemerdekaan Belanda oleh Kesultanan Aceh adalah dua sisi mata uang yang menggambarkan kompleksitas hubungan antara dunia Islam dan Eropa pada masa itu. Meskipun slogan tersebut mengandung sentimen anti-Katolik, namun bantuan dari Kesultanan Utsmani dan pengakuan dari Kesultanan Aceh menunjukkan adanya kerjasama dan aliansi yang melintasi batas agama dan geografis.
Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Aceh tidak hanya mengakui kemerdekaan Belanda, tetapi juga menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan yang erat. Tengku Abdul Hamid, sebagai duta besar, memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara.
Monumen di Middelburg menjadi pengingat akan sejarah yang kaya dan kompleks ini. Ia menjadi simbol persahabatan dan kerjasama antara Aceh dan Belanda yang terjalin sejak abad ke-17. Monumen ini juga menjadi bukti pengakuan Belanda atas kontribusi Kesultanan Aceh dalam perjuangan kemerdekaan mereka.
Kisah tentang slogan "Liever Turks dan Paaps" dan peran Kesultanan Aceh dalam kemerdekaan Belanda memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kerjasama dan toleransi dalam hubungan antar bangsa. Sejarah ini juga mengingatkan kita bahwa narasi sejarah seringkali lebih kompleks dan beragam daripada yang kita bayangkan.
Pengakuan Kesultanan Aceh terhadap kemerdekaan Belanda merupakan sebuah tindakan visioner yang patut dihormati.
Sebagai negara berdaulat pertama yang mengakui kedaulatan Belanda, Aceh telah mengukir namanya dalam sejarah dunia.
Kisah ini juga menjadi pengingat akan kekayaan sejarah Nusantara yang seringkali terabaikan. Peran aktif kesultanan-kesultanan di Indonesia dalam percaturan politik global pada masa lalu menunjukkan betapa pentingnya posisi wilayah ini dalam sejarah dunia.
Dengan menggali dan mempelajari sejarah seperti ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antar bangsa dan pentingnya menghargai keberagaman dalam membangun dunia yang lebih baik.
Kisah tentang slogan kontroversial dan pengakuan bersejarah dari Aceh ini layak untuk terus diingat dan diceritakan. Ini adalah bagian penting dari sejarah Indonesia dan Belanda yang menunjukkan adanya interaksi dan saling mempengaruhi antara peradaban yang berbeda.
Semoga kisah ini dapat menginspirasi generasi muda untuk lebih mencintai sejarah bangsanya dan menghargai peran penting para pendahulu dalam membangun hubungan baik dengan bangsa-bangsa lain di dunia.