Bisnis

[adat][bleft]

Wisata

[budaya][twocolumns]

hukum

[hukum][bsummary]

Kapur Dari Barus Hamzah Dari Fansur

KAPUR barus seakan tidak bisa dipisahkan dari kota kecil di pantai barat Pulau Sumatera yang menjadi tempat asalnya, yaitu Barus yang memiliki nama lain Fansur.

Sedangkan Hamzah al Fansuri adalah sosok ulama sufi dari Barus yang namanya menggegerkan dunia Islam lewat syair-syair sufistiknya. Kapur dari Barus dan Hamzah dari Fansur adalah dua kisah dari zaman yang berbeda yang telah mengangkat nama kota ini dalam peta dunia.

Nama tempat Fansur atau Barus yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Avicena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, yaitu Al Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi.

Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Nilai jual kapur barus pun kian mendunia.

Namun, produksi kapur barus yang merupakan komoditas perdagangan saudagar dari berbagai penjuru dunia itu kini tak lagi bisa ditemui di Barus. Pembuatan kapur barus seakan tak pernah dikenal di kota tersebut.

Kayu kamfer yang menjadi sumber kapur barus juga sulit lagi ditemui. Pembukaan hutan untuk transmigran Jawa di Mandua-Mas dan alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dinilai sebagai penyebab hilangnya kayu kamfer tersebut. "Tak ada lagi masyarakat Barus yang tahu tentang cara pengolahan kayu kamfer menjadi kapur barus. Bahkan, wujud pohon kamfer pun kini sulit ditemukan di sini, sepertinya pohon itu telah lama musnah. Sejarah kota ini telah terputus," ungkap Tajuddin Batubara, tokoh masyarakat Barus.

JEJAK Hamzah al Fansuri atau Hamzah dari Fansur yang hidup pada abad ke-16 hingga ke-17, juga hampir sama samarnya dengan kisah tentang kapur barus. Dari keberlangsungan ajarannya, sulit untuk meyakinkan orang, pemikir sufistik itu berasal dari Fansur karena jejak-jejak ajarannya tak bisa lagi ditemui di kota ini. Bukti tentang kaitan antara Hamzah dan Fansur hanya bisa ditemukan lewat syair-syair sufistiknya yang sarat makna.

Menurut sastrawan Abdul Hadi MW, Hamzah Fansuri merupakan pencipta "syair Melayu" yang bercirikan puisi empat baris dengan pola sajak akhir "a-a-a-a". Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual dari Al Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

Peranan penting Hamzah al Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.

Salah satu karya penting dari Hamzah Fansuri adalah Zinat Al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang paham wahdat al-wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu.

Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaru melalui karya-karya Rubba al Muhakkikina, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya, menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.

MEMANG, sampai kini belum ada kesepakatan di antara para ahli apakah Hamzah menamakan dirinya Fansuri karena dia lahir di Barus, atau karena dia pernah hidup dan bekerja di tempat itu. Tetapi, yang jelas dia kenal pelabuhan itu dan menghabiskan sebagian hidupnya di situ.

Nama Barus juga muncul beberapa kali dalam karya-karyanya. "Hamzah ini asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Shahrnawi, Beroleh khilafat ilmu yang ’ali, Daripada ’Abd al-Qadir Jilani...," demikian salah satu syairnya.

Kedekatan penyair sufi ini dengan lingkungan Barus, dengan lautnya, penghidupan, dan budaya masyarakatnya, juga bisa dilihat dari syairnya yang lain, "Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu...".

Tetapi, kisah Barus sebagai penghasil kapur barus memang telah pupus. Sebagaimana dituliskan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya, pelajaran tentang "mati" seharusnya memberi pelajaran tentang hidup. (aik)

Selanjutnya

Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini