Prospek Ekonomi Taput Pasca Pemekaran
WASPADA Online
Oleh Jhon Tafbu Ritonga
KETIKA kabupaten lain masih "berfikir" dan "berwacana" memekarkan diri, atau bahkan "berkelahi" dengan meneteskan darah, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) telah dimekarkan menjadi empat kabupaten. Dengan disahkannya Undang-undang (UU) tentang pemekaran beberapa kabupaten di Indonesia baru-baru ini, Samosir sudah menjadi salah satu kabupaten baru di Indonesia. Samosir ialah pemekaran dari Kabupaten Tobasa yang belum lama dimekarkan dari Kabupaten Taput. Dengan demikian, sekarang Taput menjadi Taput, Tobasa, Humbang dan Samosir.
Setelah dimekarkan menjadi empat kabupaten, Taput tercatat sebagai kabupaten yang paling progresif dan proaktif memanfaatkan peluang yang terbuka dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara UU No 22 tahun 1999, walaupun baru berusia 4 tahun dan dilaksanakan sejak 2001, sudah dalam proses amandemen. Pada tahun 1980-an sebuah harian terbitan Jakarta menurunkan liputan khusus mengenai Taput dengan memberi predikat sebagai "Peta Kemiskinan". Walaupun tidak jelas tolok ukur yang digunakan, tapi sejak laporan itu terbit, Taput menjadi populer sebagai Peta Kemiskinan.
Sadar atau tidak, setelah pemekaran kini Taput sedang memulai perubahan besar. Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana prospek ekonomi keempat kabupaten itu (selanjutnya disebut Taput) pasca pemekaran? Akan lebih maju, statis ataukah justeru mengalami kemunduran?
Dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi ekonomi, sebenarnya Taput tidak lebih baik dari kabupaten lain seperti Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat. Dari segi areal, sebelum dimekarkan luas Taput adalah 10.605 km2 atau 14,8 persen dari luas Sumatera Utara (Sumut). Sebagai perbandingan luas Kabupaten Labuhan Batu adalah 9.323 km2 atau sekitar 13,0 persen dari luas Sumut.
Dalam pada itu berdasarkan hasil sensus tahun 1990 jumlah penduduk Taput adalah 690.000 jiwa, penduduk Labuhan Batu 733.000 dan penduduk Deli Serdang 1,6 juta jiwa lebih. Sementara berdasarkan hasil sensus tahun 2000 jumlah penduduk Taput adalah 711.836 jiwa, penduduk Labuhan Batu 844.924 jiwa dan penduduk Deli Serdang sebanyak 1.905.587 juta jiwa.
Secara demografis Taput memiliki ciri yang spesifik. Berbeda dengan kabupaten/kota yang lain, TFR (angka kelahiran total) Taput tergolong paling tinggi di Sumut yakni 3,86. Lebih tinggi dari rata-rata TFR Sumut yang hanya 3,16. Namun dengan TFR yang tinggi, tingkat pertumbuhan penduduk Taput tergolong paling rendah di Sumut, yakni hanya 0,04 persen dan kalau di perdesaan malahan minus. Spesifiknya ialah angka kelahiran yang tinggi itu ternyata tidak membuat pertumbuhan penduduk Taput juga tinggi. Hal ini terjadi karena tingkat migrasi atau perpindahan penduduk dari Taput relatif tinggi.
Salah satu ciri antropologis orang Batak Taput ialah anak-anak mudanya suka merantau. Sebab, dalam masyarakat Batak setiap anak laki-laki yang sudah dewasa biasanya harus berani merantau. Mereka yang tidak berani meninggalkan kampung halaman akan dianggap sebagai lelaki yang cuma berani di bawah ketiak orang tua. Sistem nilai lain yang dianut dalam keluarga Batak ialah anak muda yang masih tinggal bersama orang tua harus membantu kerja di ladang atau sawah dan kebun. Kalau pun mereka bekerja dan mendapat penghasilan, maka penghasilannya ialah untuk memperkuat pendapatan keluarga.
Secara psikologis sistem nilai tadi akan mendorong anak-anak muda untuk merantau. Oleh karena itu orang Batak temasuk etnis yang paling tinggi mobilitasnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Sekiranya dalam masyarakat Batak sistem nilai yang dianut ialah kebalikan dari sistem nilai tadi, maka tingkat mobilitas etnis Batak tidak akan seperti sekarang. Sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat etnis atau daerah lain, banyak anak-anak mudanya yang enggan merantau. Mereka lebih suka bekerja di kampung halamannya dengan penghasilan yang sebenarnya pas-pasan.
Dalam hal kemiskinan, biarpun Taput pernah mendapat gelar Peta Kemiskinan, sebenarnya keadaan Taput tak lebih parah dari Kabupaten/Kota lain di Sumut. Menurut data BPS, pada tahun 2002 tingkat kemiksinan di Taput adalah 20 persen. Hampir sama dnegan Kabupaten Langkat (20%) dan Kabupaten Karo (23%). Jadi, Taput tidak lebih buruk dari daerah lain. Dengan kata lain, gelar Peta Kemiskinan sebenarnya cuma hasil pembentukan opini publik, sedangkan dalam kenyataannya Taput sama saja dengan kabupaten lain. Dibanding kabupaten dan kota lain tertentu yang ada di Sumut.. bahkan kondisi Taput dapat dikatakan lebih baik.
Orang Batak Taput justeru mempunyai keunggulan dalam hal SDM. Tentu saja kalau dibanding etnis dan daerah lain. SDM-nya yang telah bermigrasi atau merantau ke daerah lain relatif lebih baik dari etnis lain tertentu di Sumut. Sebagaimana dimaklumi selama ini bahwa orang Taput sudah lama menyebar di seluruh Sumut dan provinsi lain di Indonesia. Adalah hal yang biasa kalau misalnya orang Batak dikenal sebagai tokoh intelektual, bikrorat dan legislatif di provinsi lain, seperti Jawa, Irian dan Kalimantan.
Data BPS Sumut menunjukkan sekarang ini hanya sekitar 23,3 persen orang Batak Taput Sumut yang masih berdomisili atau bertempat tinggal di Taput. Sebagian besar (76,7%) sudah berada di kabupaten/kota lain Sumut. Kabupaten dan kota yang penduduknya tergolong besar persentase orang Batak (Taput) ialah di Tapteng (73%), Dairi (66,7%), Sibolga (55,9%), Pematang Siantar (47,5%) dan Tanjung Balai (42,5%). Sedangkan di kabupaten dan kota lain, meskipun secara relatit jumlahnya kecil, tapi secara absolut cukup besar. Seperti di Simalungjn (31,0%), Labuhan Batu (30,2%), Tapsel (26,6%), Medan (19,2%) dan Deli Serdang (13,3%), secara relatif memang tidak besar, tapi secara absolut karena jumlah penduduk daerah tersebut besar maka jumlah orang Batak juga banyak.
Dengan opini bahwa Taput ialah Peta Kemiskinan, tampaknya telah membuat masyarakat Taput amat sadar bahwa daerah tersebut harus melakukan perubahan besar supaya dapat mencapai kemajuan di masa depan. Kesadaran masyarakatnya yang demikian, didukung pula oleh Bupati Taput Drs, RE Nainggolan, MM yang mampu membaca kondisi, melihat peluang dan memperhitungkan masa depan. Maka itu Bupati dan DPRD bersama elemen lain segera mengawali perubahan besar dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam UU No 22 tahun 1999.
Ada beberapa faktor yang membuat Taput akan lebih maju pasca pemekaran. Di antaranya ialah pertambahan alokasi anggaran belanja pusat (APBN) ke Taput yang disebut sebagai dana perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan alokasi lainnya. Sebagaimana dimaklumi pemekaran daerah dilakukan dengan undang-undang dan pengimplementasiannya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, setelah UU tentang pemekaran kaupaten baru diundangkan dan masuk ke dalam lembaran negara, maka pemerintah pusat dan provinsi harus menyediakan alokasi anggaran untuk kabupaten/kota yang baru tersebut dalam APBN dan APBD.
Konsekuensi lebih lanjut setelah pemekaran ialah dibutuhkan perangkat daerah, kantor, infrastruktur lainnya dan sumber daya manusia (SDM) yang akan menjalankan organisasi pemerintah daerah yang baru. Pembentukan instansi baru, pembangunan kantor dan infrastruktur lainnya serta penempatan SDM akan menjadi pendorong bagi kemajuan ekonomi dan masyarakat. Kaum terdidik atau SDM Taput yang sudah maju di perantauan berpeluang kembali ke kampung halaman untuk ambil bagian dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya di Taput.
Seterusnya perubahan-perubahan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang terjadi karena pemekaran akan menjadi motivasi atau pendorong baru bagi generasi muda yang selama ini mungkin sudah "lesu" atau agak apatis. Mereka akan memiliki gariah baru untuk maju. Optimisme baru generasi muda akan menjadi enegi baru bagi Taput untuk meraih kemajuan yang lebih baik di masa depan.
Prospek Taput akan lebih baik lagi karena sebelum pemekaran bersama Tapteng dan Sibolga sudah dibangun kekuatan baru yang dikenal sebagai Pusat Pertumbuhan Tapanuli. Bersamaan dengan itu sudah pula mulai dilakukan p pembangunan infrastruktur transportasi modern yakni pengembangan lapangan udara. Dengan adanya sinergi Taput dengan Sibolga dan Tapteng tersebut, kini tujuh kabupaten/kota semakin berpotensi membentuk provinsi baru.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Taput mempunyai prospek ekonomi yang lebih baik pasca pemekaran. Dalam masa 10-20 tahun mendatang Taput akan menjadi salah satu peta kemajuan di luar Jawa. Pada saat mana kemungkinan besar kabupaten/kota di Sumatera Timur akan tersentak dan mulai sadar untuk melakukan perubahan mendasar guna mengejar ketertinggalannya karena teralu lama mengalami stagnasi alias kemandegan. Ironisnya, pada waktu itu mungkin saja UU tak lagi memberi peluang pemekaran.
Selama ini secara fisik-geografis Taput relatif ketinggalan sehingga diberi gelar Peta Kemiskinan. Namun SDM-nya mengalami kemajuan yang pesat dalam proses "brain drain", yakni orang-orang pandainya merantau ke daerah lain dan meraih kemajuan. Sekarang, dengan adanya pemekaran Taput akan memasuki era baru pembangunan secara fisik-geografis. Mereka bisa ambil bagian mengisi pembangunan dalam paradigma baru sehingga Taput akan benar-benar mengalami kemajuan yang lebih lengkap. Bukan lagi hanya SDM-nya, tapi juga kemajuan fisik daerah. Selamat kepada Taput yang cerdas dan cepat menangkap peluang. Horas! ()
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini
WASPADA Online
Oleh Jhon Tafbu Ritonga
KETIKA kabupaten lain masih "berfikir" dan "berwacana" memekarkan diri, atau bahkan "berkelahi" dengan meneteskan darah, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) telah dimekarkan menjadi empat kabupaten. Dengan disahkannya Undang-undang (UU) tentang pemekaran beberapa kabupaten di Indonesia baru-baru ini, Samosir sudah menjadi salah satu kabupaten baru di Indonesia. Samosir ialah pemekaran dari Kabupaten Tobasa yang belum lama dimekarkan dari Kabupaten Taput. Dengan demikian, sekarang Taput menjadi Taput, Tobasa, Humbang dan Samosir.
Setelah dimekarkan menjadi empat kabupaten, Taput tercatat sebagai kabupaten yang paling progresif dan proaktif memanfaatkan peluang yang terbuka dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara UU No 22 tahun 1999, walaupun baru berusia 4 tahun dan dilaksanakan sejak 2001, sudah dalam proses amandemen. Pada tahun 1980-an sebuah harian terbitan Jakarta menurunkan liputan khusus mengenai Taput dengan memberi predikat sebagai "Peta Kemiskinan". Walaupun tidak jelas tolok ukur yang digunakan, tapi sejak laporan itu terbit, Taput menjadi populer sebagai Peta Kemiskinan.
Sadar atau tidak, setelah pemekaran kini Taput sedang memulai perubahan besar. Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana prospek ekonomi keempat kabupaten itu (selanjutnya disebut Taput) pasca pemekaran? Akan lebih maju, statis ataukah justeru mengalami kemunduran?
Dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi ekonomi, sebenarnya Taput tidak lebih baik dari kabupaten lain seperti Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat. Dari segi areal, sebelum dimekarkan luas Taput adalah 10.605 km2 atau 14,8 persen dari luas Sumatera Utara (Sumut). Sebagai perbandingan luas Kabupaten Labuhan Batu adalah 9.323 km2 atau sekitar 13,0 persen dari luas Sumut.
Dalam pada itu berdasarkan hasil sensus tahun 1990 jumlah penduduk Taput adalah 690.000 jiwa, penduduk Labuhan Batu 733.000 dan penduduk Deli Serdang 1,6 juta jiwa lebih. Sementara berdasarkan hasil sensus tahun 2000 jumlah penduduk Taput adalah 711.836 jiwa, penduduk Labuhan Batu 844.924 jiwa dan penduduk Deli Serdang sebanyak 1.905.587 juta jiwa.
Secara demografis Taput memiliki ciri yang spesifik. Berbeda dengan kabupaten/kota yang lain, TFR (angka kelahiran total) Taput tergolong paling tinggi di Sumut yakni 3,86. Lebih tinggi dari rata-rata TFR Sumut yang hanya 3,16. Namun dengan TFR yang tinggi, tingkat pertumbuhan penduduk Taput tergolong paling rendah di Sumut, yakni hanya 0,04 persen dan kalau di perdesaan malahan minus. Spesifiknya ialah angka kelahiran yang tinggi itu ternyata tidak membuat pertumbuhan penduduk Taput juga tinggi. Hal ini terjadi karena tingkat migrasi atau perpindahan penduduk dari Taput relatif tinggi.
Salah satu ciri antropologis orang Batak Taput ialah anak-anak mudanya suka merantau. Sebab, dalam masyarakat Batak setiap anak laki-laki yang sudah dewasa biasanya harus berani merantau. Mereka yang tidak berani meninggalkan kampung halaman akan dianggap sebagai lelaki yang cuma berani di bawah ketiak orang tua. Sistem nilai lain yang dianut dalam keluarga Batak ialah anak muda yang masih tinggal bersama orang tua harus membantu kerja di ladang atau sawah dan kebun. Kalau pun mereka bekerja dan mendapat penghasilan, maka penghasilannya ialah untuk memperkuat pendapatan keluarga.
Secara psikologis sistem nilai tadi akan mendorong anak-anak muda untuk merantau. Oleh karena itu orang Batak temasuk etnis yang paling tinggi mobilitasnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Sekiranya dalam masyarakat Batak sistem nilai yang dianut ialah kebalikan dari sistem nilai tadi, maka tingkat mobilitas etnis Batak tidak akan seperti sekarang. Sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat etnis atau daerah lain, banyak anak-anak mudanya yang enggan merantau. Mereka lebih suka bekerja di kampung halamannya dengan penghasilan yang sebenarnya pas-pasan.
Dalam hal kemiskinan, biarpun Taput pernah mendapat gelar Peta Kemiskinan, sebenarnya keadaan Taput tak lebih parah dari Kabupaten/Kota lain di Sumut. Menurut data BPS, pada tahun 2002 tingkat kemiksinan di Taput adalah 20 persen. Hampir sama dnegan Kabupaten Langkat (20%) dan Kabupaten Karo (23%). Jadi, Taput tidak lebih buruk dari daerah lain. Dengan kata lain, gelar Peta Kemiskinan sebenarnya cuma hasil pembentukan opini publik, sedangkan dalam kenyataannya Taput sama saja dengan kabupaten lain. Dibanding kabupaten dan kota lain tertentu yang ada di Sumut.. bahkan kondisi Taput dapat dikatakan lebih baik.
Orang Batak Taput justeru mempunyai keunggulan dalam hal SDM. Tentu saja kalau dibanding etnis dan daerah lain. SDM-nya yang telah bermigrasi atau merantau ke daerah lain relatif lebih baik dari etnis lain tertentu di Sumut. Sebagaimana dimaklumi selama ini bahwa orang Taput sudah lama menyebar di seluruh Sumut dan provinsi lain di Indonesia. Adalah hal yang biasa kalau misalnya orang Batak dikenal sebagai tokoh intelektual, bikrorat dan legislatif di provinsi lain, seperti Jawa, Irian dan Kalimantan.
Data BPS Sumut menunjukkan sekarang ini hanya sekitar 23,3 persen orang Batak Taput Sumut yang masih berdomisili atau bertempat tinggal di Taput. Sebagian besar (76,7%) sudah berada di kabupaten/kota lain Sumut. Kabupaten dan kota yang penduduknya tergolong besar persentase orang Batak (Taput) ialah di Tapteng (73%), Dairi (66,7%), Sibolga (55,9%), Pematang Siantar (47,5%) dan Tanjung Balai (42,5%). Sedangkan di kabupaten dan kota lain, meskipun secara relatit jumlahnya kecil, tapi secara absolut cukup besar. Seperti di Simalungjn (31,0%), Labuhan Batu (30,2%), Tapsel (26,6%), Medan (19,2%) dan Deli Serdang (13,3%), secara relatif memang tidak besar, tapi secara absolut karena jumlah penduduk daerah tersebut besar maka jumlah orang Batak juga banyak.
Dengan opini bahwa Taput ialah Peta Kemiskinan, tampaknya telah membuat masyarakat Taput amat sadar bahwa daerah tersebut harus melakukan perubahan besar supaya dapat mencapai kemajuan di masa depan. Kesadaran masyarakatnya yang demikian, didukung pula oleh Bupati Taput Drs, RE Nainggolan, MM yang mampu membaca kondisi, melihat peluang dan memperhitungkan masa depan. Maka itu Bupati dan DPRD bersama elemen lain segera mengawali perubahan besar dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam UU No 22 tahun 1999.
Ada beberapa faktor yang membuat Taput akan lebih maju pasca pemekaran. Di antaranya ialah pertambahan alokasi anggaran belanja pusat (APBN) ke Taput yang disebut sebagai dana perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan alokasi lainnya. Sebagaimana dimaklumi pemekaran daerah dilakukan dengan undang-undang dan pengimplementasiannya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, setelah UU tentang pemekaran kaupaten baru diundangkan dan masuk ke dalam lembaran negara, maka pemerintah pusat dan provinsi harus menyediakan alokasi anggaran untuk kabupaten/kota yang baru tersebut dalam APBN dan APBD.
Konsekuensi lebih lanjut setelah pemekaran ialah dibutuhkan perangkat daerah, kantor, infrastruktur lainnya dan sumber daya manusia (SDM) yang akan menjalankan organisasi pemerintah daerah yang baru. Pembentukan instansi baru, pembangunan kantor dan infrastruktur lainnya serta penempatan SDM akan menjadi pendorong bagi kemajuan ekonomi dan masyarakat. Kaum terdidik atau SDM Taput yang sudah maju di perantauan berpeluang kembali ke kampung halaman untuk ambil bagian dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya di Taput.
Seterusnya perubahan-perubahan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang terjadi karena pemekaran akan menjadi motivasi atau pendorong baru bagi generasi muda yang selama ini mungkin sudah "lesu" atau agak apatis. Mereka akan memiliki gariah baru untuk maju. Optimisme baru generasi muda akan menjadi enegi baru bagi Taput untuk meraih kemajuan yang lebih baik di masa depan.
Prospek Taput akan lebih baik lagi karena sebelum pemekaran bersama Tapteng dan Sibolga sudah dibangun kekuatan baru yang dikenal sebagai Pusat Pertumbuhan Tapanuli. Bersamaan dengan itu sudah pula mulai dilakukan p pembangunan infrastruktur transportasi modern yakni pengembangan lapangan udara. Dengan adanya sinergi Taput dengan Sibolga dan Tapteng tersebut, kini tujuh kabupaten/kota semakin berpotensi membentuk provinsi baru.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Taput mempunyai prospek ekonomi yang lebih baik pasca pemekaran. Dalam masa 10-20 tahun mendatang Taput akan menjadi salah satu peta kemajuan di luar Jawa. Pada saat mana kemungkinan besar kabupaten/kota di Sumatera Timur akan tersentak dan mulai sadar untuk melakukan perubahan mendasar guna mengejar ketertinggalannya karena teralu lama mengalami stagnasi alias kemandegan. Ironisnya, pada waktu itu mungkin saja UU tak lagi memberi peluang pemekaran.
Selama ini secara fisik-geografis Taput relatif ketinggalan sehingga diberi gelar Peta Kemiskinan. Namun SDM-nya mengalami kemajuan yang pesat dalam proses "brain drain", yakni orang-orang pandainya merantau ke daerah lain dan meraih kemajuan. Sekarang, dengan adanya pemekaran Taput akan memasuki era baru pembangunan secara fisik-geografis. Mereka bisa ambil bagian mengisi pembangunan dalam paradigma baru sehingga Taput akan benar-benar mengalami kemajuan yang lebih lengkap. Bukan lagi hanya SDM-nya, tapi juga kemajuan fisik daerah. Selamat kepada Taput yang cerdas dan cepat menangkap peluang. Horas! ()
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini