Aborigin di Tanah Aceh
Ahmad Arif dan Subur Tjahjono
Orang Gayo, Alas, dan suku bangsa lain yang tinggal di pedalaman Aceh memang berbeda dengan orang Aceh yang tinggal di pesisir. Perbedaan itu bukan hanya terlihat pada fisik tubuh, tetapi juga budaya, bahasa, dan sejarah.
Mereka kini bergerak untuk menuntut kemandirian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melalui pembentukan provinsi baru, Aceh Leuser Antara.
Sejumlah tokoh masyarakat Gayo dan Alas yang ditemui Tim Kompas pada 20-28 September 2005 dengan tegas menyatakan mereka berbeda dengan orang-orang di pesisir Aceh. â€Orang Gayo di Aceh seperti ’Aborigin’ di Australia. Kamilah warga asli di tanah Aceh, tetapi nasib kami tak diperhatikan,†kata Yusuf Maat (68), tokoh masyarakat Gayo Lues.
Zeingraf, tentara dan wartawan Belanda, dalam bukunya, Acheh, menyebutkan Gayo sebagai Central District of Acheh. Artinya, dia telah menggolongkan Gayo sebagai bagian dari wilayah Aceh, tepatnya Aceh Tengah.
HH van Kol dalam bukunya, Tiga Kali Melintasi Sumatera dan Perjalanan Mengembara ke Bali, menyatakan Gayo berbeda dengan Aceh. Berbeda dengan Aceh, diamlah di daerah hulu yang berpenduduk sangat beradab, yang kecerdasannya makin berkurang semakin jauh tempatnya ke pegunungan. Suatu kaum yang intelek, yang dapat menerima kecerdasan yang lebih tinggi dan dapat ditarik (relevansinya) dengan peradaban Eropa, kata Prof Wilhelm Voltz sebagaimana terdapat dalam tulisan HH van Kol.
Kontroversi tentang perbedaan dan keragaman etnis dan sikap politik di wilayah Aceh memang berlangsung sangat lama. Termasuk, ketika terjadi penandatanganan nota kesepahaman Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baru-baru ini, sebagian masyarakat Gayo, Alas, dan Singkil cenderung tidak antusias.
Perjanjian itu sebenarnya hanya antarmasyarakat Aceh di pesisir timur, bukan representasi seluruh masyarakat Aceh, khususnya yang berada di pedalaman, kata Yusuf Maat.
Lembaga Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1980) mencatat ada 11 suku bangsa di Aceh, yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak, serta campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari 11 suku bangsa ini, Jawa dan Batak adalah suku bangsa pendatang.
Catatan sejarah
Menurut catatan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Sastra Lisan Gayo (1985), suku Gayo atau urang (orang) Gayo adalah penduduk asli yang bertempat tinggal di daerah Blangkejeren (Kabupaten Gayo Lues), Takengon (Kabupaten Aceh Tengah), dan Serbejadi (Kabupaten Aceh Timur). Generasi lebih tua menyebut Gayo Lues bagi daerah Gayo Blangkejeren, Gayo Lut (Laut) bagi daerah Takengon, dan Gayo Serbejadi bagi daerah Serbejadi.
Dalam Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (1983), MH Gayo menyatakan suku bangsa Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Aceh di pesisir. Berhubung karena pusat kerajaan (dulu) berada di Aceh dan jumlah penduduk Aceh lebih banyak, maka dapat dimengerti jika pengaruh kebudayaan Aceh lebih besar daripada sebaliknya.
Menurut MH Gayo, hubungan yang penting adalah hubungan Gayo dengan suku bangsa Karo dan suku bangsa Batak. Hubungan ini dapat dilihat terutama karena terdapatnya persamaan dalam bahasa, adat istiadat, lebih-lebih dengan suku bangsa Karo.
Suku bangsa Alas adalah penduduk asli yang mendiami Tanah Alas yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara, juga memiliki kedekatan keturunan dengan masyarakat Karo dan Batak. Bupati Aceh Tenggara Armen Desky mengatakan, kelompok etnis Alas yang merupakan suku bangsa dominan di Aceh Tenggara (35 persen) juga memiliki garis keturunan yang sama dengan suku bangsa Karo dan Batak. Misalnya, marga Desky kalau di Karo sama dengan Sembiring dan kalau di Batak sama dengan Silalahi.
Kami memang masih ada jalinan sejarah yang sama. Di sini lain, banyak yang bilang kami adalah Aceh Batak. Itulah memang kenyataannya, katanya.
Masyarakat Kabupaten Aceh Singkil kebanyakan berasal dari orang-orang Batak Phak-phak. Mereka pun masih bermarga, sama seperti orang Phak-phak di Sumatera Utara. Tetapi sebagian orang Phak-phak di Singkil menyembunyikan marganya karena malu, kata Radja Amansyah Udjung (68), tokoh masyarakat Singkil.
Akan tetapi, menurut Armen, orang Alas, Gayo, dan Singkil juga Aceh. Bahkan, menurut Armen, jika melihat sejarah, orang-orang yang sekarang disebut Aceh di pesisir timur dan sebagian pesisir barat adalah para pendatang dari berbagai suku bangsa, seperti Arab dan Keling atau Tamil yang datang belakangan. Jadi, kalau bertanya siapa yang Aceh, maka orang Gayo, Singkil, dan Alas-lah yang pertama tinggal di tanah ini, kata Armen yang orang Alas itu.
Masyarakat Aceh di pesisir sendiri, jika dirunut dari sejarahnya, berasal dari para pendatang dari berbagai kelompok etnis belahan dunia, seperti Arab, Persia, India, China, Jepang, hingga Tamil. Mereka datang ke Pulau Sumatera, khususnya kawasan sekitar Sumatera Utara dan Aceh (kini), karena adanya komoditas dagang yang sangat populer di masa itu, yaitu kapur barus dan kemenyan.
Dalam catatan sejarah, Sumatera dikenal sebagai penghasil kapur barus (camphor), suatu produk alamiah berbentuk kristal yang dihasilkan dari getah pohon karas (Aguilaria mallaccansis atau Cinnamomum camphora).
Komunitas dagang dari berbagai belahan dunia ini memusat di dua titik utama, yaitu kota China (Pantai Timur Sumatera Utara) dan sekitar Barus dan Singkil (Pantai Barat Sumatera Utara dan Aceh).
Di kawasan pesisir timur seperti di wilayah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, hingga ke Kota Medan, garis keturunan dari komunitas asing asal Tamil masih bisa dilacak hingga kini. Di Medan hingga kini masih dijumpai komunitas Tamil yang masih mempertahankan tradisi tempat asalnya di India selatan.
Bahkan, sejarah Kesultanan Samudera Pasai di Aceh dimulai oleh para pedagang pendatang, yaitu sekelompok pedagang kaya dari Gujarat, India barat, berbatasan dengan Pakistan. Mereka sekaligus juga menyebarkan agama
Islam, sampai kemudian diambil alih oleh Dinasti Saljuq dari Baghdad dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1530) sebagai sultan pertama Kerajaan Aceh. Baru pada masa Sultan Iskandar Thani (1637-1641), Kesultanan Aceh diperintah oleh orang Melayu keturunan dari Pahang (Malaysia).
Belakangan muncul orang-orang Eropa (Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis). Sedikit banyak, mereka juga punya andil dalam memberikan garis keturunan kepada orang Aceh, terutama di pantai barat.
Disatukan agama
Di antara sederet perbedaan itu, ada satu hal yang menyatukan masyarakat Aceh di pesisir, Gayo, Alas, Singkil, yaitu agama Islam. Dalam konstelasi sejarah perjuangan kemerdekaan RI melawan Belanda, beragam kelompok etnis di Aceh ini juga bergabung.
Pejuang Gayo berjuang bersama ulama Aceh melawan penjajah Belanda. Salah satu pertempuran hebat yang mereka lakukan adalah saat pejuang asal Aceh menggempur Belanda hingga ke Sumatera Utara atau dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.
Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah adalah tempat yang berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Dari sinilah berita-berita Indonesia telah merdeka dan kaburnya Belanda dari berbagai daerah disiarkan oleh Radio Rimba Raya. Pemancar radio Tentara Rakyat Indonesia Divisi X Gajah di Aceh Tengah dapat diselamatkan dari pengejaran tentara Belanda.
Bahkan hingga saat gerakan perlawanan Daud Beureuh, mereka masih senada. Ulama besar Gayo waktu itu, Tengku Ilyas Leubee, adalah sahabat karib Tengku Mohd Daud Beureuh. Pada saat perjuangan Daud Beureuh, orang Gayo banyak yang ikut bergabung. Kami disatukan oleh agama Islam, kata Yusuf Maat.
Namun, saat meletup perlawanan oleh GAM, orang Gayo, Alas, dan Singkil memilih sikap berbeda. Masyarakat di tiga kawasan tersebut tidak begitu antusias menyambutnya. Bahkan, bisa dikatakan, GAM dimusuhi di tiga wilayah tersebut. Dalam hal pilihan politik dan dalam hal memandang Indonesia, masyarakat Gayo, Alas, dan Singkil memang berbeda dengan cara masyarakat Aceh di pesisir pada umumnya.
Saat konflik memanas di Provinsi NAD, daerah-daerah di Dataran Tinggi Gayo dan Singkil memang sempat bergolak, tetapi tidak sepanas di tempat lain di NAD.
Kendala yang dihadapi masyarakat Gayo waktu itu adalah jalan satu-satunya yang menghubungkan wilayah mereka dengan dunia luar, yaitu Jalan Bireuen-Takengon, sempat terputus. Mereka memblokade jalan kami karena kami tidak mendukung gerakan mereka, seperti embargo ekonomi saja, kata M Syarif (70), tokoh masyarakat Bener Meriah.
Kini relasi masyarakat Aceh di pesisir dengan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo, Alas, dan Singkil yang tersebar di lima kabupaten (Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil) kembali bergejolak.
Lima kabupaten ini ingin membentuk provinsi sendiri, yaitu Aceh Leuser Antara. Di samping masalah perbedaan budaya juga sejarah, alasan lainnya adalah egalitarianisme.
Tuntutan Aceh sejak zaman Daud Beureuh mengobarkan perlawanan saat itu sebenarnya hanya satu: egalitarianisme. Sesuatu yang sebenarnya pantas jadi hak Aceh. Sayang, saat itu egalitarianisme itu dijawab dengan tangan besi dan sentralisasi kekuasaan Jakarta untuk menguasai politik dan sumber daya alamnya.
Dalam posisi yang mirip, walaupun mungkin tak sama, para tokoh dan masyarakat di lima kabupaten itu kini menjadikan egalitarianisme sebagai dasar tuntutan untuk membentuk provinsi baru.
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini
Ahmad Arif dan Subur Tjahjono
Orang Gayo, Alas, dan suku bangsa lain yang tinggal di pedalaman Aceh memang berbeda dengan orang Aceh yang tinggal di pesisir. Perbedaan itu bukan hanya terlihat pada fisik tubuh, tetapi juga budaya, bahasa, dan sejarah.
Mereka kini bergerak untuk menuntut kemandirian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melalui pembentukan provinsi baru, Aceh Leuser Antara.
Sejumlah tokoh masyarakat Gayo dan Alas yang ditemui Tim Kompas pada 20-28 September 2005 dengan tegas menyatakan mereka berbeda dengan orang-orang di pesisir Aceh. â€Orang Gayo di Aceh seperti ’Aborigin’ di Australia. Kamilah warga asli di tanah Aceh, tetapi nasib kami tak diperhatikan,†kata Yusuf Maat (68), tokoh masyarakat Gayo Lues.
Zeingraf, tentara dan wartawan Belanda, dalam bukunya, Acheh, menyebutkan Gayo sebagai Central District of Acheh. Artinya, dia telah menggolongkan Gayo sebagai bagian dari wilayah Aceh, tepatnya Aceh Tengah.
HH van Kol dalam bukunya, Tiga Kali Melintasi Sumatera dan Perjalanan Mengembara ke Bali, menyatakan Gayo berbeda dengan Aceh. Berbeda dengan Aceh, diamlah di daerah hulu yang berpenduduk sangat beradab, yang kecerdasannya makin berkurang semakin jauh tempatnya ke pegunungan. Suatu kaum yang intelek, yang dapat menerima kecerdasan yang lebih tinggi dan dapat ditarik (relevansinya) dengan peradaban Eropa, kata Prof Wilhelm Voltz sebagaimana terdapat dalam tulisan HH van Kol.
Kontroversi tentang perbedaan dan keragaman etnis dan sikap politik di wilayah Aceh memang berlangsung sangat lama. Termasuk, ketika terjadi penandatanganan nota kesepahaman Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baru-baru ini, sebagian masyarakat Gayo, Alas, dan Singkil cenderung tidak antusias.
Perjanjian itu sebenarnya hanya antarmasyarakat Aceh di pesisir timur, bukan representasi seluruh masyarakat Aceh, khususnya yang berada di pedalaman, kata Yusuf Maat.
Lembaga Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1980) mencatat ada 11 suku bangsa di Aceh, yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak, serta campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari 11 suku bangsa ini, Jawa dan Batak adalah suku bangsa pendatang.
Catatan sejarah
Menurut catatan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Sastra Lisan Gayo (1985), suku Gayo atau urang (orang) Gayo adalah penduduk asli yang bertempat tinggal di daerah Blangkejeren (Kabupaten Gayo Lues), Takengon (Kabupaten Aceh Tengah), dan Serbejadi (Kabupaten Aceh Timur). Generasi lebih tua menyebut Gayo Lues bagi daerah Gayo Blangkejeren, Gayo Lut (Laut) bagi daerah Takengon, dan Gayo Serbejadi bagi daerah Serbejadi.
Dalam Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (1983), MH Gayo menyatakan suku bangsa Gayo mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Aceh di pesisir. Berhubung karena pusat kerajaan (dulu) berada di Aceh dan jumlah penduduk Aceh lebih banyak, maka dapat dimengerti jika pengaruh kebudayaan Aceh lebih besar daripada sebaliknya.
Menurut MH Gayo, hubungan yang penting adalah hubungan Gayo dengan suku bangsa Karo dan suku bangsa Batak. Hubungan ini dapat dilihat terutama karena terdapatnya persamaan dalam bahasa, adat istiadat, lebih-lebih dengan suku bangsa Karo.
Suku bangsa Alas adalah penduduk asli yang mendiami Tanah Alas yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara, juga memiliki kedekatan keturunan dengan masyarakat Karo dan Batak. Bupati Aceh Tenggara Armen Desky mengatakan, kelompok etnis Alas yang merupakan suku bangsa dominan di Aceh Tenggara (35 persen) juga memiliki garis keturunan yang sama dengan suku bangsa Karo dan Batak. Misalnya, marga Desky kalau di Karo sama dengan Sembiring dan kalau di Batak sama dengan Silalahi.
Kami memang masih ada jalinan sejarah yang sama. Di sini lain, banyak yang bilang kami adalah Aceh Batak. Itulah memang kenyataannya, katanya.
Masyarakat Kabupaten Aceh Singkil kebanyakan berasal dari orang-orang Batak Phak-phak. Mereka pun masih bermarga, sama seperti orang Phak-phak di Sumatera Utara. Tetapi sebagian orang Phak-phak di Singkil menyembunyikan marganya karena malu, kata Radja Amansyah Udjung (68), tokoh masyarakat Singkil.
Akan tetapi, menurut Armen, orang Alas, Gayo, dan Singkil juga Aceh. Bahkan, menurut Armen, jika melihat sejarah, orang-orang yang sekarang disebut Aceh di pesisir timur dan sebagian pesisir barat adalah para pendatang dari berbagai suku bangsa, seperti Arab dan Keling atau Tamil yang datang belakangan. Jadi, kalau bertanya siapa yang Aceh, maka orang Gayo, Singkil, dan Alas-lah yang pertama tinggal di tanah ini, kata Armen yang orang Alas itu.
Masyarakat Aceh di pesisir sendiri, jika dirunut dari sejarahnya, berasal dari para pendatang dari berbagai kelompok etnis belahan dunia, seperti Arab, Persia, India, China, Jepang, hingga Tamil. Mereka datang ke Pulau Sumatera, khususnya kawasan sekitar Sumatera Utara dan Aceh (kini), karena adanya komoditas dagang yang sangat populer di masa itu, yaitu kapur barus dan kemenyan.
Dalam catatan sejarah, Sumatera dikenal sebagai penghasil kapur barus (camphor), suatu produk alamiah berbentuk kristal yang dihasilkan dari getah pohon karas (Aguilaria mallaccansis atau Cinnamomum camphora).
Komunitas dagang dari berbagai belahan dunia ini memusat di dua titik utama, yaitu kota China (Pantai Timur Sumatera Utara) dan sekitar Barus dan Singkil (Pantai Barat Sumatera Utara dan Aceh).
Di kawasan pesisir timur seperti di wilayah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, hingga ke Kota Medan, garis keturunan dari komunitas asing asal Tamil masih bisa dilacak hingga kini. Di Medan hingga kini masih dijumpai komunitas Tamil yang masih mempertahankan tradisi tempat asalnya di India selatan.
Bahkan, sejarah Kesultanan Samudera Pasai di Aceh dimulai oleh para pedagang pendatang, yaitu sekelompok pedagang kaya dari Gujarat, India barat, berbatasan dengan Pakistan. Mereka sekaligus juga menyebarkan agama
Islam, sampai kemudian diambil alih oleh Dinasti Saljuq dari Baghdad dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1530) sebagai sultan pertama Kerajaan Aceh. Baru pada masa Sultan Iskandar Thani (1637-1641), Kesultanan Aceh diperintah oleh orang Melayu keturunan dari Pahang (Malaysia).
Belakangan muncul orang-orang Eropa (Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis). Sedikit banyak, mereka juga punya andil dalam memberikan garis keturunan kepada orang Aceh, terutama di pantai barat.
Disatukan agama
Di antara sederet perbedaan itu, ada satu hal yang menyatukan masyarakat Aceh di pesisir, Gayo, Alas, Singkil, yaitu agama Islam. Dalam konstelasi sejarah perjuangan kemerdekaan RI melawan Belanda, beragam kelompok etnis di Aceh ini juga bergabung.
Pejuang Gayo berjuang bersama ulama Aceh melawan penjajah Belanda. Salah satu pertempuran hebat yang mereka lakukan adalah saat pejuang asal Aceh menggempur Belanda hingga ke Sumatera Utara atau dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.
Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah adalah tempat yang berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Dari sinilah berita-berita Indonesia telah merdeka dan kaburnya Belanda dari berbagai daerah disiarkan oleh Radio Rimba Raya. Pemancar radio Tentara Rakyat Indonesia Divisi X Gajah di Aceh Tengah dapat diselamatkan dari pengejaran tentara Belanda.
Bahkan hingga saat gerakan perlawanan Daud Beureuh, mereka masih senada. Ulama besar Gayo waktu itu, Tengku Ilyas Leubee, adalah sahabat karib Tengku Mohd Daud Beureuh. Pada saat perjuangan Daud Beureuh, orang Gayo banyak yang ikut bergabung. Kami disatukan oleh agama Islam, kata Yusuf Maat.
Namun, saat meletup perlawanan oleh GAM, orang Gayo, Alas, dan Singkil memilih sikap berbeda. Masyarakat di tiga kawasan tersebut tidak begitu antusias menyambutnya. Bahkan, bisa dikatakan, GAM dimusuhi di tiga wilayah tersebut. Dalam hal pilihan politik dan dalam hal memandang Indonesia, masyarakat Gayo, Alas, dan Singkil memang berbeda dengan cara masyarakat Aceh di pesisir pada umumnya.
Saat konflik memanas di Provinsi NAD, daerah-daerah di Dataran Tinggi Gayo dan Singkil memang sempat bergolak, tetapi tidak sepanas di tempat lain di NAD.
Kendala yang dihadapi masyarakat Gayo waktu itu adalah jalan satu-satunya yang menghubungkan wilayah mereka dengan dunia luar, yaitu Jalan Bireuen-Takengon, sempat terputus. Mereka memblokade jalan kami karena kami tidak mendukung gerakan mereka, seperti embargo ekonomi saja, kata M Syarif (70), tokoh masyarakat Bener Meriah.
Kini relasi masyarakat Aceh di pesisir dengan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo, Alas, dan Singkil yang tersebar di lima kabupaten (Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil) kembali bergejolak.
Lima kabupaten ini ingin membentuk provinsi sendiri, yaitu Aceh Leuser Antara. Di samping masalah perbedaan budaya juga sejarah, alasan lainnya adalah egalitarianisme.
Tuntutan Aceh sejak zaman Daud Beureuh mengobarkan perlawanan saat itu sebenarnya hanya satu: egalitarianisme. Sesuatu yang sebenarnya pantas jadi hak Aceh. Sayang, saat itu egalitarianisme itu dijawab dengan tangan besi dan sentralisasi kekuasaan Jakarta untuk menguasai politik dan sumber daya alamnya.
Dalam posisi yang mirip, walaupun mungkin tak sama, para tokoh dan masyarakat di lima kabupaten itu kini menjadikan egalitarianisme sebagai dasar tuntutan untuk membentuk provinsi baru.
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini